Manusia secara tidak sadar perlahan-lahan membentuk masyarakat yang konsumeris. Inilah yang membentuk masyarakat menjadi terkotak-kotak dalam kantong individualistik, “Apa yang bisa diharap dari masyarakat konsumeris?”. Sedangkan akibatnya adalah individualisme yang mengikis nilai-nilai sosial.
Pasar membuat orang terfragmentasi menjadi individu. Padahal di dalam karakter manusia sebagai makhluk sosial memerlukan komunikasi. Komunikasi yang terjalin dengan sendirinya melahirkan komitmen, lalu menjadi trust (kepercayaan). Inilah yang melahirlah bentuk makhluk sosial, yang akan memunculkan modal sosial.
meski pun masyarakat memiliki modal sosial namun masih memerlukan kecerdasan sosial, untuk meraih tujuan tiap individu dalam satu sistem sosial. Namun semuanya menjadi sia-sia ketika manusia hanya mementingkan diri sendiri. Sikap individualistik inilah yang melahirkan ketidakcerdasan sosial.
Bagaimana membangun kecerdasan sosial?
Syarat kecerdasan sosial adalah bila individu kenal diri, baik potensi maupun kelemahannya, atau sesuatu yang membuat dia tidak suka. Berarti selain potensi kita mengerti benar kelemahan dan emosi. Saya berpikir, sebuah system social yang baik adalah seperti tim bola, mereka menilai diri sendiri lalu menempati posisi masing-masing sesuai potensi mereka. Di sini perlu pelatih yang membimbing dan mengenali potensi.
Kita pernah punya modal sosial, tapi mengapa tak pernah memiliki kecerdasan sosial?
Untuk itulah kita perlu melakukan restorasi dan rekonstruksi kembali modal social kita. Tak perlu menyalahkan Orde Lama, Orde Baru, Orde saat ini. Karena kalau ribut mencari sebab kita akan berdebat terus tapi tak membangun. Manusia tak akan pernah bisa menyelesaikan pekerjaan dengan dendam.
Bagaimana merekonstruksi kembali?
Kenali diri, mulai dari yang kecil dari kita pribadi. Kenali potensi dan dinamika diri. Jadilah tuan dari emosi bukan duta emosi. Jadi semuanya bisa terkontrol. Allah tidak mungkin membuat manusia tidak sempurna, tapi manusia memiliki keterbatasan. Misalnya tidak bisa terbang tapi dengan potensi diri bisa membuat pesawat terbang.
Apakah ada jaminan sistem pendidikan yang bagus menciptakan kecerdasan sosial?
Di sinilah peran leadership, dalam sistem sosial yang sehat akan melahirkan leadership. Dia harus memiliki peran solidarity maker, dia bisa menciptakan kebersamaan di dalam para anggotanya. Selain itu seorang pemimpin harus sekaligus menjadi motivator.
Apakah sistem pendidikan kita tak melahirkan kecerdasan sosial?
Dulu sebenarnya sudah ada. Misalkan pelajaran bercerita, setelah guru bercerita bergantian murid bercerita ulang. Di sini ada proses mendengar dan didengarkan. Pelajaran ini membentuk watak manusia menjadi makhluk sosial. Pelajaran olah raga yang mementingkan permainan tim diajarkan. Sekarang ini pelajaran-pelajaran itu dikesampingkan. Inilah yang membentuk manusia menjadi individualistik.
Bagaimana dengan negara lain, apakah yang membuat mereka menjadi maju?
Di Cina dan India, kemajuan itu karena factor leadership. Dalam system social yang diperlukan adalah pemimpin transformasional, yang membimbing manusia dari jaman jahiliyah menjadi yang cerah, dari keadaan buruk menjadi baik. Dari kehilangan modal sosial menjadi memiliki modal sosial.
Bagaimana dengan dunia Islam?
Nabi Muhamad SAW adalah sosok pemimpin transformasional. Dia tak menetapkan target teknis, tapi mentransformasi manusia yang tak produktif menjadi produktif. Bila ini terjadi, dengan sendirinya target teknis teraih. Bedanya pemimpin sekarang menetukan target tapi tak pernah membangun manusianya.
Lalu bagaimana membangun leadership?
Memilih pemimpin tak bisa dengan cara menjiplak Negara maju. Harus disesuaikan dengan budaya. Dalam masyarakat yang tingkat pendidikannya rendah tak perlu pemilihan langsung. Tapi dalam masyarakat yang pendidikannya tinggi pemilihan langsung menjadi perlu. Nah di sinilah fungsi partai, membentuk kader pemimpin bangsa. Partai bukanlah kendaraan untuk menjadi pemimpin.
Oleh : Ir Prasetyo Soenaryo, MT, Ketua DPP LDII
Sumber : www.ldii.or.id
Pasar membuat orang terfragmentasi menjadi individu. Padahal di dalam karakter manusia sebagai makhluk sosial memerlukan komunikasi. Komunikasi yang terjalin dengan sendirinya melahirkan komitmen, lalu menjadi trust (kepercayaan). Inilah yang melahirlah bentuk makhluk sosial, yang akan memunculkan modal sosial.
meski pun masyarakat memiliki modal sosial namun masih memerlukan kecerdasan sosial, untuk meraih tujuan tiap individu dalam satu sistem sosial. Namun semuanya menjadi sia-sia ketika manusia hanya mementingkan diri sendiri. Sikap individualistik inilah yang melahirkan ketidakcerdasan sosial.
Bagaimana membangun kecerdasan sosial?
Syarat kecerdasan sosial adalah bila individu kenal diri, baik potensi maupun kelemahannya, atau sesuatu yang membuat dia tidak suka. Berarti selain potensi kita mengerti benar kelemahan dan emosi. Saya berpikir, sebuah system social yang baik adalah seperti tim bola, mereka menilai diri sendiri lalu menempati posisi masing-masing sesuai potensi mereka. Di sini perlu pelatih yang membimbing dan mengenali potensi.
Kita pernah punya modal sosial, tapi mengapa tak pernah memiliki kecerdasan sosial?
Untuk itulah kita perlu melakukan restorasi dan rekonstruksi kembali modal social kita. Tak perlu menyalahkan Orde Lama, Orde Baru, Orde saat ini. Karena kalau ribut mencari sebab kita akan berdebat terus tapi tak membangun. Manusia tak akan pernah bisa menyelesaikan pekerjaan dengan dendam.
Bagaimana merekonstruksi kembali?
Kenali diri, mulai dari yang kecil dari kita pribadi. Kenali potensi dan dinamika diri. Jadilah tuan dari emosi bukan duta emosi. Jadi semuanya bisa terkontrol. Allah tidak mungkin membuat manusia tidak sempurna, tapi manusia memiliki keterbatasan. Misalnya tidak bisa terbang tapi dengan potensi diri bisa membuat pesawat terbang.
Apakah ada jaminan sistem pendidikan yang bagus menciptakan kecerdasan sosial?
Di sinilah peran leadership, dalam sistem sosial yang sehat akan melahirkan leadership. Dia harus memiliki peran solidarity maker, dia bisa menciptakan kebersamaan di dalam para anggotanya. Selain itu seorang pemimpin harus sekaligus menjadi motivator.
Apakah sistem pendidikan kita tak melahirkan kecerdasan sosial?
Dulu sebenarnya sudah ada. Misalkan pelajaran bercerita, setelah guru bercerita bergantian murid bercerita ulang. Di sini ada proses mendengar dan didengarkan. Pelajaran ini membentuk watak manusia menjadi makhluk sosial. Pelajaran olah raga yang mementingkan permainan tim diajarkan. Sekarang ini pelajaran-pelajaran itu dikesampingkan. Inilah yang membentuk manusia menjadi individualistik.
Bagaimana dengan negara lain, apakah yang membuat mereka menjadi maju?
Di Cina dan India, kemajuan itu karena factor leadership. Dalam system social yang diperlukan adalah pemimpin transformasional, yang membimbing manusia dari jaman jahiliyah menjadi yang cerah, dari keadaan buruk menjadi baik. Dari kehilangan modal sosial menjadi memiliki modal sosial.
Bagaimana dengan dunia Islam?
Nabi Muhamad SAW adalah sosok pemimpin transformasional. Dia tak menetapkan target teknis, tapi mentransformasi manusia yang tak produktif menjadi produktif. Bila ini terjadi, dengan sendirinya target teknis teraih. Bedanya pemimpin sekarang menetukan target tapi tak pernah membangun manusianya.
Lalu bagaimana membangun leadership?
Memilih pemimpin tak bisa dengan cara menjiplak Negara maju. Harus disesuaikan dengan budaya. Dalam masyarakat yang tingkat pendidikannya rendah tak perlu pemilihan langsung. Tapi dalam masyarakat yang pendidikannya tinggi pemilihan langsung menjadi perlu. Nah di sinilah fungsi partai, membentuk kader pemimpin bangsa. Partai bukanlah kendaraan untuk menjadi pemimpin.
Oleh : Ir Prasetyo Soenaryo, MT, Ketua DPP LDII
Sumber : www.ldii.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar