Sabtu, 29 Maret 2008

Menjual Tanpa Membangun : Penerapannya Dalam Konteks Wisata di Wilayah Malang

Sektor pariwisata merupakan salah satu sektor yang potensial sebagai sumber penghasil devisa bagi Indonesia. Kegiatan pariwisata meskipun saat ini masih menempati urutan ketiga dalam memasukkan pendapatan dan devisa negara (sesudah migas dan tekstil), tetap terus diupayakan peningkatannya dan diharapkan menjadi primadona dalam memasok pendapatan dan devisa negara (Tjuk K Sukiadi, Prospek Dan Analisis Pertumbuhan Kepariwisataan Jatim). Dalam lingkup pembangunan nasional sektor ini memiliki kontribusi berarti dalam Pendapatan Domestik Regional Bruto ( PDRB ) karena menurut data terbaru 2007 dari Depbudpar (http://www.budpar.go.id/page.php?ic=521&id=1154) jumlah devisa yang diraup dari turis asing saja menjcapai USD 5,346 milyar, padahal kontribusi wisatawan domestik lebih besar dari itu. Jadi bisa anda bayangkan betapa besarnya kontribusi sektor pariwisata ini.
Dalam konteks pembangunan daerah, sektor pariwisata memberikan pengaruh yang sangat besar bagi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pendapatan Asli Daerah didapat dari aspek riil dan non riil. Dari aspek riil seperti pajak-pajak retribusi dan lain sebagainya. Sedangkan dari sisi non riil, Pendapatan Asli Daerah diperoleh dari peningkatan perekonomian masyarakat yang berdampak kepada bertambahnya penerimaan pajak. Sektor pariwisata yang kegiatannya bersifat konsumtif ini memberikan efek secara langsung terhadap perekonomian masyarakat. Jadi secara tidak langsung sektor pariwisata memberikan kontribusi besar bagi Pendapatan Asli Daerah disisi non riil.
Sehubungan dengan hal itu, wilayah Malang sebagai daerah pariwisata terbesar di Jawa Timur yang telah dikenal dengan keindahan alam dan keunikan budaya tradisionalnya sangat potensial untuk terus dikembangkan sebagai motor penggerak perekonomian lokal dan sekaligus mampu memberdayakan masyarakat setempat agar selalu turut andil dalam pembangunan kepariwisataan. Dalam rangka mengoptimalkan potensi wisata alam dan budaya tersebut maka penting untuk membatasi kegiatan-kegiatan wisata pada aspek yang humanis dan lebih ramah lingkungan untuk menjaga potensi-potensi tersebut tetap sustainable misalnya dengan penggunaan model ekowisata dan wisata lain sejenisnya.
Sektor pariwisata dikenal membutuhkan investasi yang cukup besar dalam pengembangannya. Misalnya saja dalam pengembangan pariwisata disuatu tempat membutuhkan banyak pembangunan fisik seperti hotel, restoran, dan fasilitas lainnya. Namun ternyata hal tersebut menimbulkan dampak yang kompleks terhadap kondisi lingkungan, kerumitan manajemen pengelolaan, dan beberapa konflik sosial, misalnya dalam hal pembebasan tanah warga lokal. Beberapa objek wisata terkesan tidak siap dengan banyaknya pembangunan fisik terutama dalam hal perawatannya (maintenance) sehingga objek-objek tersebut terkesan ditelantarkan. Kita lihat saja saat ini banyak objek wisata yang kondisi lingkungannya begitu buruk sehingga tak layak disebut sebagai objek wisata. Sebut saja salah satunya Taman Wisata Wendit di Pakis Malang, objek wisata ini meski berskala regional dan selalu dipadati pengunjung, tapi tetap saja objek wisata ini tampak kurang terawat, kotor, dan tidak teratur.
Sebagai solusi untuk mengurangi dampak-dampak tersebut, maka perlu adanya model baru dalam pengembangan wisata yaitu dengan cara mengembangkan potensi wisata tanpa membangun (Zero Investation). Tapi model ini tentu saja dibatasi pada objek-objek wisata yang alami. Penekanan objek ini juga tak semata-mata menjual keindahan fisik saja, tetapi juga menjual pengalaman psikologis dengan menjalani berbagai aktivitas dengan tema tertentu sesuai kondisi lingkungannya. Hal ini diaplikasikan dengan mengeksplorasi potensi-potensi wisata yang dikemas dalam suatu program paket wisata perjalanan yang layak jual. Konsep wisata ini memang masih jarang yang menerapkan, tetapi beberapa Mahasiswa Planologi yang meneliti tentang konsep wisata Menjual tanpa membangun sudah mencoba mengembangkannya secara aplikatif dalam bentuk program paket wisata yang disebut paket wisata eko-kultur di wilayah Tumpang pada tahun 2006 !
Pengembangan wisata ekokultur ini sangat menguntungkan dari berbagai aspek. Dari aspek fisik, pengembangan wisata ini tidak memerlukan investasi pembangunan fisik permanen seperti bangunan, jalan, jaringan utilitas dan sejenisnya karena yang dibutuhkan hanyalah tempat yang representatif dan aktivitas yang unik. Dari aspek sosial pengembangan wisata ini tidak bertentangan/menimbulkan konflik sosial dengan budaya masyarakat, melainkan justru mendukung kebudayaan setempat. Dari aspek ekonomi pengembangan wisata ini jelas membantu memberdayakan perekonomian masyarakat dengan meningkatnya pendapatan masyarakat, dan berperan sebagai katalis utama bagi pertumbuhan ekonomi wilayah setempat. Dari aspek lingkungan, selain membantu upaya konservasi lingkungan dengan tidak adanya pembangunan fisik, juga mencegah upaya destruktif masyarakat dalam merambah hutan seiring meningkatnya kesejahteraan masyarakat dari sektor pariwisata, bagaimana menurut anda ? jika tertarik untuk mendiskusikan konsep ini silakan hubungi Jurusan Planologi - ITN Malang.

Tidak ada komentar: