Selasa, 25 Maret 2008

Islam Tak Cukup dengan Jenggot Panjang dan Surban

Jenggot panjang, memakai surban, dan celana di atas tumit itu bagus. Tapi hal-hal yang bersifat simbolik itu tidak cukup untuk dinilai bahwa dia telah mengamalkan ajaran Islam. Ulama terdahulu, seperti Ibnu Sina, Imam Al-Ghozali dan sejumlah tokoh Islam lain juga punya jenggot yang panjang dan juga pakai surban. Namun, sekali lagi, Islam tidak cukup hanya dengan jenggot dan surban saja.
KETUA Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Said Aqil Siraj mengungkapkan hal tersebut saat menghadiri acara Maulid Akbar di Masjid At-Tin, di Kompleks Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. “Mengamalkan ajaran Islam tidak cukup hanya dengan memelihara jenggot hingga panjang, memakai surban, dan memakai celana dengan tinggi di atas tumit saja. Sebab, ajaran Islam cukup luas dan tidak bisa terwakilkan oleh sekedar simbol belaka,” paparnya.
Pernyataan Kang Said, demikian ia akrab disapa, itu merupakan tanggapan terhadap wacana kembali kepada madzhab Salafy yang dimunculkan sejumlah kelompok di Indonesia. Namun, ia menegaskan, penerapan madzhab Salafy tidak cukup hanya dengan pelaksanaan hal-hal yang simbolik. “Ulama terdahulu dan sejumlah tokoh Islam lain juga mempunyai jenggot yang panjang dan juga memakai surban. Namun, sekali lagi, Islam tidak cukup dengan jenggot dan surban saja,” tuturnya.
Orang yang sudah beriman saja, ujar Kang Said, masih belum cukup. Sebab, orang yang telah beriman harus disempurnakan dengan amal dan ibadah yang baik, serta perilaku yang terpuji. Keimanan masih harus ditopang dengan moral dan prilaku yang baik,” jelas doktor jebolan Universitas Umul Quro’ Mekkah, Arab Saudi, itu.

KESAN konservatif, seperti umumnya para kiai di Indonesia, tak tersirat pada diri Said Aqiel Sirad. Sikap ulama asal Palimanan, Cirebon, Jawa Barat, itu bisa dikatakan sangat moderat. Bahkan, ia cenderung kontroversial. Keberaniannya mempertanyakan kembali dasar-dasar penting yang telanjur baku dalam praktik kehidupan beragama umat Islam mengingatkan orang kepada apa yang pernah dilakukan pendahulunya, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dan Nurcholish Madjid.
Atas keberanian sikapnya yang "kelewat batas" itu, Said Aqiel pernah dikafirkan oleh 12 orang kiai. Ada pula yang melayangkan surat ke almamaternya –Universitas Ummul Qura’ – Mekkah, meminta agar mencabut gelar doktornya. "Jangankan gelar doktor, gelar haji pun ambillah. Enggak usah digelari haji juga enggak apa-apa," tukasnya menanggapi serangkaian tudingan "miring" atas dirinya itu.
Tudingan "miring" itu bermula dari sejumlah sikapnya yang dinilai nyeleneh. Misalnya, ia menjalin persahabatan yang begitu erat dengan tokoh-tokoh non-muslim, seperti Romo Mangunwijaya (almarhum), Romo Mudji Sutrisno, dan Romo Sandyawan Sumardi. Ia juga tercatat sebagai salah satu penasihat Angkatan Muda Kristen Republik Indonesia.
Lalu, minatnya terhadap masalah kebangsaan dan hak asasi manusia juga tercermin dari keberadaannya sebagai salah satu pendiri Gerakan Keadilan dan Persatuan Bangsa, bersama tokoh-tokoh seperti Siswono Yudohusodo dan Sarwono Kusumaatmadja. Selain itu, ia juga bergabung dalam Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa Kerusuhan 12-14 Mei 1998.
Menurut Said Aqil, serangkaian sepak terjangnya itu bukan tanpa alasan. Ia hanya ingin menunjukkan tiga hal penting yang seharusnya menjadi dasar penghayatan agama oleh setiap orang: toleran, moderat, dan akomodatif. "Islam yang benar itu, ya, moderat, toleran, dan akomodatif," tandas kiai yang senantiasa berpenampilan sederhana itu.
Dibesarkan di lingkungan pesantren, ahli tasawuf ini asli Cirebon. Ayahnya, Kiai Aqil Siraj, adalah seorang ulama bersahaja yang memiliki pondok pesantren kecil di Desa Kempeg, Kecamatan Ciwaringin, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Pesantren itu kini dikelola oleh saudara-saudara K.H. Said Aqil Siraj dan menampung sekitar seribu murid.
Said Aqil menamatkan pendidikan Madrasah Ibtidaiyah (setingkat Sekolah Dasar) di kampung halamannya. Masa pendidikan pesantren setingkat sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas dihabiskannya di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Pada 1980, didampingi istrinya (Nurhayati), ia melanjutkan studi dengan beasiwa di Tanah Suci Mekkah, Arab Saudi. Hidup di perantauan dilaluinya hingga 1994, dengan oleh-oleh gelar doktor bidang Ushuluddin (ilmu perbandingan agama) dari Universitas Ummul Qura’ - Mekkah. Dan di Mekkah pula keempat buah hatinya lahir.
Meski dikenal sebagai intelektual yang kritis, Said Aqil ternyata mempunyai sense of humour yang lumayan tinggi. Suatu hari, ia bercerita tentang kekonyolan penyeragaman yang dilakukan Gubernur Jawa Tengah Soewardi di masa lalu melalui program kuningisasi menjelang dan selama Pemilihan Umum 1997. "Saat itu, jangankan trotoar serta pagar, bedug mesjid, bahkan hewan kurban yang hendak dipotong pada Idul Adha pun harus dicat kuning," tuturnya. "Itu ‘kan konyol," tambah kiai yang juga mengajar di Universitas Islam Malang dan Perguruan Tinggi Ilmu Quran, Jakarta, itu.
MENGENAI kualitas umat Islam secara umum yang harus diperjuangkannya, dalam suatu kesempatan KH Said Aqil Siraj mengatakan bahwa saat ini beberapa kalangan Islam di Indonesia memahami agama Islam dengan sangat ekstrim (tatharruf). Mereka sering mengklaim diri sebagai Islam yang kaffah (menyeluruh) tetapi sebenarnya tidak pernah kaffah.
Bahwa Islam bukan hanya akidah dan syariah seperti yang mereka katakan, tetapi juga menawarkan budaya, peradaban dan moderasi Islam. Nah inilah yang ditawarkan NU dan inilah yang harus kita angkat, katanya.
Menurut Kang Said, NU juga harus menjaga, mengawal dan menjadi tameng keutuhan negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) karena NU berjasa besar ikut membangun dan mendirikan negara ini. Kita harus bersyukur kepada leluhur kita di mana beliau-beliau pada Muktamar di Banjarmasin 1936 sepakat membangun darus salam (negara kesejahteraan) bukan negara Islam. Para ulama merekrut semua komponen yang ada, baik lintas agama, etnis, budaya dan seterusnya. Ini memperkuat sumpah pemuda satu bangasa satu nusa dan satu bahasa, katanya.
Sikap seperti itu, kata Kang Said, terbentuk karena NU tidak terlalu mementingkan simbol, tidak legal formal, tidak mementingkan hal-hal yang bersifat lahir semata. Lebih penting lagi adalah nilai dan substansi Islam itu sendiri.
Di sisi lain, memang orang-orang nasionalis pada zaman itu adalah bukan orang-orang universal, bukan nasionalis sekuler yang betul-betul tidak memasukkan faktor agama atau tidak menginginkan agama campur tangan dalam kehidupan bernegara. Mereka bukan orang-orang nasionalis sebagaimana yang ditulis Ernast Renan dalam Whats the Nation tahun 1980, sehingga waktu itu Soekarno, Agus Salim, Kahar Muzakkar, Kiai Wahab Hasbullah, Wahid Hasyim dan Moh Hatta bisa saling ketemu,” katanya.
 
Sumber : http://www.ldii.or.id , wawancara dengan Ketua PBNU, Prof. Dr. KH Said Aqil Siraj

Tidak ada komentar: