Charles Torrey dalam disertasinya yang diajukan kepada Universitas Heidelberg di Jerman tahun 1880 (Disertasinya berjudul “The Commercial – Theological Terms in The Koran” terbit di Leiden, 1892) bahwa kitab suci Al Qur’an sangat menarik bila dibandingkan dengan kitab suci agama lain. Karena, menurutnya, kitab suci tersebut menggunakan peristilahan profesional untuk menyatakan hal-hal yang paling dalam dari lubuk hati manusia. Beberapa kata dalam Al Qur’an dikutip Torrey yang mengindikasikan profesionalisme.
Sebagian pengamat Islam, mengambil pengamatan Torrey itu, untuk menunjukkan mengapa bangsa Barat lebih maju. Karena, antara lain, bangsa Barat telah mencurahkan perhatian yang sangat besar pada masalah-masalah profesionalisme. Sementara kaum muslim pada beberapa abad silam memberikan perhatian terlalu banyak pada kaum penguasa, serta kebijakan-kebijakan dan tindakan mereka, alias terlalu besar porsinya pada aspek politik dalam kehidupan bangsa-bangsa muslim.
William Cleveland, Profesor Sejarah di Universitas Simon Fraser, Canada, dalam disertasinya yaitu : “Islam Against the West : Shakib Arsalan and the Campaign for Islamic Nasionalism” menganalisis pemikiran Shakib Arsalan seorang penganjur Islam ideologis dengan bukunya “Limaza ta’-akhkhara al-muslimun wa taqaddama ghairuhum (Mengapa Kaum Muslim Mundur dan Selain Mereka Maju?)”. intinya, kemunduran itu terjadi, antara lain, adalah akibat kepentingan politik sesaat untuk mempertahankan kekuasaan, ambisi pribadi, mengambil tindakan atas nama agama padahal untuk kepentingan pribadi, yang akhirnya cenderung mengabaikan kepentingan umum yang lebih luas. Kelompok muslim menjatuhkan, menjelek-jelekkan, memojokkan, dan tindakan sejenisnya terhadap kelompok muslim lainnya. Akibatnya nasib kaum muslimin atau kepentingan bersama kaum muslimin terpinggirkan. Dalam pandangan, Dirjen Bimas Islam Departemen Agama, Prof.Dr. Nazaruddin Umar, bahwa umat Islam yang saling menjelekkan atau kelompok umat Islam memfitnah kelompok muslim lainnya akan menghambat atau bahkan membuat umat Islam mundur.
Telaah dari beberapa disertasi tersebut tampaknya masih ‘relevan’ dengan situasi dan kondisi bangsa kita dewasa ini. Karena itu, dengan memperhatikan dinamika dan perkembangan masyarakat kita dewasa ini, maka dalam Rakernas LDII 2007, salah satu hasilnya adalah mendorong tumbuhnya komunitas yang sukses atau successful community untuk merespon dan mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi bangsa ini. Ada 5 sukses yang ingin diwujudkan yaitu : pertama, sukses moral, warga LDII menjadi pribadi yang jujur, amanah, optimistik dan berbudi pekerti yang luhur, sekaligus nantinya dapat pula mendorong kea rah masyarakat yang jujur, amanah, dan berbudi pekerti yang luhur. Dengan kata lain, warga LDII memberikan contoh yang baik sebagai wahana utama dalam pembentukan moralitas yang berlaku di tengah-tengah masyarakat.
Kedua, sukses profesional. Warga LDII didorong mempunyai know how/skill yang mumpuni sekaligus menguasai ilmu pengetahuan, yang diharapkan mampu menjawab berbagai tantangan di masa depan.
Ketiga, sukses team building, warga LDII dapat bekerjasama dengan berbagai elemen masyarakat lainnya, selain tentunya juga mampu bekerja sama dengan sesama warga LDII sendiri. Karena diakui atau tidak, kompleksitas persoalan yang dihadapi bangsa ini tidaklah dapat diselesaikan hanya oleh sekelompok masyarakat saja, tapi harus juga melibatkan partisipasi dari berbagai elemen masyarakat lainnya, termasuk dengan aparatur pemerintahan baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif.
Aku-isme yang mengedepankan dirinya yang paling berjasa, paling bisa, seolah-olah tanpa dirinya tidak akan berhasil suatu pekerjaan, tentulah tidak mendapat tempat dalam konteks team building tersebut.
Keempat, sukse kepemimpinan. Dalam konteks ini, warga LDII menjadi pemimpin yang teladan, mulai dari tingkat keluarga, di lingkungan tempat tinggalnya, maupun dalam pergaulan masyarakat secara luas atau kepemimpinan dalam berbagai tingkatan di masyarakat. Pada tingkat masyarakat luas, harapannya, orientasi seorang pemimpin itu terkait langsung dengan kesejahteraan rakyatnya. Sedangkan pada tingkatan keluarga, sebagai pemimpin selain memberikan contoh keteladanan tapi juga mampu melayani kebutuhan keluarganya. Dalam konteks bangsa, kepemimpinan itu haruslah berorientasi pada pencapaian kesejahteraan orang banyak. Menurut sebagian cendekiawan muslim, ada sebuah adagium dalam Islam yaitu “Kebijakan dan tindakan seorang pemimpin haruslah terkait langsung kepada kesejahteraan rakyat yang dipimpin (tasharruf al-imam ala al-ra’iyyah manuthun bi al-mashalahah)”. Artinya, kesejahteraan masyarakat tidak akan tercapai, jika pemimpinnya tidak mewujudkan keadilan seluruh warga masyarakat, melainkan hanya untuk sebagian saja. Maka sukses kepemimpinan ini tidak hanya untuk warga LDII tapi juga diharapkan terwujud dalam masyarakat kita. Sukses kepemimpinan itu, dengan kata lain, LDII mendorong berkembangnya sikap kepemimpinan di berbagai lapisan masyarakat yang berwatak sebagai pelindung, pengayom, menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan, adil dan tidak kalah penting sebagai ‘pelayan’ bagi orang-orang yang dipimpinnya.
Kelima, adalah sukses kesejahteraan. Masyarakat yang sejahtera bukan hanya menyangkut kenyataan-kenyataan lahiriah dan angka statistic belaka, seperti kepemilikan rumah, mobil, dan sebagainya, tapi juga menyangkut kebebasan berorganisasi, kebebasan dan perlindungan dalam menjalankan ibadahnya, dan beberapa aspek kehidupan lainnya agar tercipta rasa keadilan. Ini sesuai dengan pandangan Islam, bahwa tujuan hidup perorangan adalah mencari kebahagiaan dunia dan akhirat yang dicapai melalui kerangka peribadatan kepada Alloh.
Kelima sukses tersebut bukan hanya ditujukan untuk warga LDII tapi harapannya juga terwujud di masyarakat dan bangsa Indonesia. Karena warga adalah bagian dari sebuah masyarakat, maka secara makro ia adalah mahluk sosial yang tidak berdiri sendiri. Artinya, kesuksesan itu tidak hanya menimpa warga LDII, tapi juga diupayakan tercipta di dalam masyarakat dan bangsa Indonesia. Apakah kelima sukses itu sekadar retorika? Mudah-mudahan tidak. Meskipun mungkin berat untuk mewujudkannya, tapi itu adalah konsekuensi dari visi dan misi LDII. Paling tidak, cukup berharga untuk direnungkan.
Oleh : H. Drs. Iskandar Siregar, MSi
Sumber : www.ldii.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar