Sabtu, 29 Maret 2008

Menjual Tanpa Membangun : Penerapannya Dalam Konteks Wisata di Wilayah Malang

Sektor pariwisata merupakan salah satu sektor yang potensial sebagai sumber penghasil devisa bagi Indonesia. Kegiatan pariwisata meskipun saat ini masih menempati urutan ketiga dalam memasukkan pendapatan dan devisa negara (sesudah migas dan tekstil), tetap terus diupayakan peningkatannya dan diharapkan menjadi primadona dalam memasok pendapatan dan devisa negara (Tjuk K Sukiadi, Prospek Dan Analisis Pertumbuhan Kepariwisataan Jatim). Dalam lingkup pembangunan nasional sektor ini memiliki kontribusi berarti dalam Pendapatan Domestik Regional Bruto ( PDRB ) karena menurut data terbaru 2007 dari Depbudpar (http://www.budpar.go.id/page.php?ic=521&id=1154) jumlah devisa yang diraup dari turis asing saja menjcapai USD 5,346 milyar, padahal kontribusi wisatawan domestik lebih besar dari itu. Jadi bisa anda bayangkan betapa besarnya kontribusi sektor pariwisata ini.
Dalam konteks pembangunan daerah, sektor pariwisata memberikan pengaruh yang sangat besar bagi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pendapatan Asli Daerah didapat dari aspek riil dan non riil. Dari aspek riil seperti pajak-pajak retribusi dan lain sebagainya. Sedangkan dari sisi non riil, Pendapatan Asli Daerah diperoleh dari peningkatan perekonomian masyarakat yang berdampak kepada bertambahnya penerimaan pajak. Sektor pariwisata yang kegiatannya bersifat konsumtif ini memberikan efek secara langsung terhadap perekonomian masyarakat. Jadi secara tidak langsung sektor pariwisata memberikan kontribusi besar bagi Pendapatan Asli Daerah disisi non riil.
Sehubungan dengan hal itu, wilayah Malang sebagai daerah pariwisata terbesar di Jawa Timur yang telah dikenal dengan keindahan alam dan keunikan budaya tradisionalnya sangat potensial untuk terus dikembangkan sebagai motor penggerak perekonomian lokal dan sekaligus mampu memberdayakan masyarakat setempat agar selalu turut andil dalam pembangunan kepariwisataan. Dalam rangka mengoptimalkan potensi wisata alam dan budaya tersebut maka penting untuk membatasi kegiatan-kegiatan wisata pada aspek yang humanis dan lebih ramah lingkungan untuk menjaga potensi-potensi tersebut tetap sustainable misalnya dengan penggunaan model ekowisata dan wisata lain sejenisnya.
Sektor pariwisata dikenal membutuhkan investasi yang cukup besar dalam pengembangannya. Misalnya saja dalam pengembangan pariwisata disuatu tempat membutuhkan banyak pembangunan fisik seperti hotel, restoran, dan fasilitas lainnya. Namun ternyata hal tersebut menimbulkan dampak yang kompleks terhadap kondisi lingkungan, kerumitan manajemen pengelolaan, dan beberapa konflik sosial, misalnya dalam hal pembebasan tanah warga lokal. Beberapa objek wisata terkesan tidak siap dengan banyaknya pembangunan fisik terutama dalam hal perawatannya (maintenance) sehingga objek-objek tersebut terkesan ditelantarkan. Kita lihat saja saat ini banyak objek wisata yang kondisi lingkungannya begitu buruk sehingga tak layak disebut sebagai objek wisata. Sebut saja salah satunya Taman Wisata Wendit di Pakis Malang, objek wisata ini meski berskala regional dan selalu dipadati pengunjung, tapi tetap saja objek wisata ini tampak kurang terawat, kotor, dan tidak teratur.
Sebagai solusi untuk mengurangi dampak-dampak tersebut, maka perlu adanya model baru dalam pengembangan wisata yaitu dengan cara mengembangkan potensi wisata tanpa membangun (Zero Investation). Tapi model ini tentu saja dibatasi pada objek-objek wisata yang alami. Penekanan objek ini juga tak semata-mata menjual keindahan fisik saja, tetapi juga menjual pengalaman psikologis dengan menjalani berbagai aktivitas dengan tema tertentu sesuai kondisi lingkungannya. Hal ini diaplikasikan dengan mengeksplorasi potensi-potensi wisata yang dikemas dalam suatu program paket wisata perjalanan yang layak jual. Konsep wisata ini memang masih jarang yang menerapkan, tetapi beberapa Mahasiswa Planologi yang meneliti tentang konsep wisata Menjual tanpa membangun sudah mencoba mengembangkannya secara aplikatif dalam bentuk program paket wisata yang disebut paket wisata eko-kultur di wilayah Tumpang pada tahun 2006 !
Pengembangan wisata ekokultur ini sangat menguntungkan dari berbagai aspek. Dari aspek fisik, pengembangan wisata ini tidak memerlukan investasi pembangunan fisik permanen seperti bangunan, jalan, jaringan utilitas dan sejenisnya karena yang dibutuhkan hanyalah tempat yang representatif dan aktivitas yang unik. Dari aspek sosial pengembangan wisata ini tidak bertentangan/menimbulkan konflik sosial dengan budaya masyarakat, melainkan justru mendukung kebudayaan setempat. Dari aspek ekonomi pengembangan wisata ini jelas membantu memberdayakan perekonomian masyarakat dengan meningkatnya pendapatan masyarakat, dan berperan sebagai katalis utama bagi pertumbuhan ekonomi wilayah setempat. Dari aspek lingkungan, selain membantu upaya konservasi lingkungan dengan tidak adanya pembangunan fisik, juga mencegah upaya destruktif masyarakat dalam merambah hutan seiring meningkatnya kesejahteraan masyarakat dari sektor pariwisata, bagaimana menurut anda ? jika tertarik untuk mendiskusikan konsep ini silakan hubungi Jurusan Planologi - ITN Malang.

Selasa, 25 Maret 2008

Komunitas Sukses

  
Charles Torrey dalam disertasinya yang diajukan kepada Universitas Heidelberg di Jerman tahun 1880 (Disertasinya berjudul “The Commercial – Theological Terms in The Koran” terbit di Leiden, 1892) bahwa kitab suci Al Qur’an sangat menarik bila dibandingkan dengan kitab suci agama lain. Karena, menurutnya, kitab suci tersebut menggunakan peristilahan profesional untuk menyatakan hal-hal yang paling dalam dari lubuk hati manusia. Beberapa kata dalam Al Qur’an dikutip Torrey yang mengindikasikan profesionalisme.

Sebagian pengamat Islam, mengambil pengamatan Torrey itu, untuk menunjukkan mengapa bangsa Barat lebih maju. Karena, antara lain, bangsa Barat telah mencurahkan perhatian yang sangat besar pada masalah-masalah profesionalisme. Sementara kaum muslim pada beberapa abad silam memberikan perhatian terlalu banyak pada kaum penguasa, serta kebijakan-kebijakan dan tindakan mereka, alias terlalu besar porsinya pada aspek politik dalam kehidupan bangsa-bangsa muslim.

William Cleveland, Profesor Sejarah di Universitas Simon Fraser, Canada, dalam disertasinya yaitu : “Islam Against the West : Shakib Arsalan and the Campaign for Islamic Nasionalism” menganalisis pemikiran Shakib Arsalan seorang penganjur Islam ideologis dengan bukunya “Limaza ta’-akhkhara al-muslimun wa taqaddama ghairuhum (Mengapa Kaum Muslim Mundur dan Selain Mereka Maju?)”. intinya, kemunduran itu terjadi, antara lain, adalah akibat kepentingan politik sesaat untuk mempertahankan kekuasaan, ambisi pribadi, mengambil tindakan atas nama agama padahal untuk kepentingan pribadi, yang akhirnya cenderung mengabaikan kepentingan umum yang lebih luas. Kelompok muslim menjatuhkan, menjelek-jelekkan, memojokkan, dan tindakan sejenisnya terhadap kelompok muslim lainnya. Akibatnya nasib kaum muslimin atau kepentingan bersama kaum muslimin terpinggirkan. Dalam pandangan, Dirjen Bimas Islam Departemen Agama, Prof.Dr. Nazaruddin Umar, bahwa umat Islam yang saling menjelekkan atau kelompok umat Islam memfitnah kelompok muslim lainnya akan menghambat atau bahkan membuat umat Islam mundur.

Telaah dari beberapa disertasi tersebut tampaknya masih ‘relevan’ dengan situasi dan kondisi bangsa kita dewasa ini. Karena itu, dengan memperhatikan dinamika dan perkembangan masyarakat kita dewasa ini, maka dalam Rakernas LDII 2007, salah satu hasilnya adalah mendorong tumbuhnya komunitas yang sukses atau successful community untuk merespon dan mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi bangsa ini. Ada 5 sukses yang ingin diwujudkan yaitu : pertama, sukses moral, warga LDII menjadi pribadi yang jujur, amanah, optimistik dan berbudi pekerti yang luhur, sekaligus nantinya dapat pula mendorong kea rah masyarakat yang jujur, amanah, dan berbudi pekerti yang luhur. Dengan kata lain, warga LDII memberikan contoh yang baik sebagai wahana utama dalam pembentukan moralitas yang berlaku di tengah-tengah masyarakat.

Kedua, sukses profesional. Warga LDII didorong mempunyai know how/skill yang mumpuni sekaligus menguasai ilmu pengetahuan, yang diharapkan mampu menjawab berbagai tantangan di masa depan.

Ketiga, sukses team building, warga LDII dapat bekerjasama dengan berbagai elemen masyarakat lainnya, selain tentunya juga mampu bekerja sama dengan sesama warga LDII sendiri. Karena diakui atau tidak, kompleksitas persoalan yang dihadapi bangsa ini tidaklah dapat diselesaikan hanya oleh sekelompok masyarakat saja, tapi harus juga melibatkan partisipasi dari berbagai elemen masyarakat lainnya, termasuk dengan aparatur pemerintahan baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif.

Aku-isme yang mengedepankan dirinya yang paling berjasa, paling bisa, seolah-olah tanpa dirinya tidak akan berhasil suatu pekerjaan, tentulah tidak mendapat tempat dalam konteks team building tersebut.

Keempat, sukse kepemimpinan. Dalam konteks ini, warga LDII menjadi pemimpin yang teladan, mulai dari tingkat keluarga, di lingkungan tempat tinggalnya, maupun dalam pergaulan masyarakat secara luas atau kepemimpinan dalam berbagai tingkatan di masyarakat. Pada tingkat masyarakat luas, harapannya, orientasi seorang pemimpin itu terkait langsung dengan kesejahteraan rakyatnya. Sedangkan pada tingkatan keluarga, sebagai pemimpin selain memberikan contoh keteladanan tapi juga mampu melayani kebutuhan keluarganya. Dalam konteks bangsa, kepemimpinan itu haruslah berorientasi pada pencapaian kesejahteraan orang banyak. Menurut sebagian cendekiawan muslim, ada sebuah adagium dalam Islam yaitu “Kebijakan dan tindakan seorang pemimpin haruslah terkait langsung kepada kesejahteraan rakyat yang dipimpin (tasharruf al-imam ala al-ra’iyyah manuthun bi al-mashalahah)”. Artinya, kesejahteraan masyarakat tidak akan tercapai, jika pemimpinnya tidak mewujudkan keadilan seluruh warga masyarakat, melainkan hanya untuk sebagian saja. Maka sukses kepemimpinan ini tidak hanya untuk warga LDII tapi juga diharapkan terwujud dalam masyarakat kita. Sukses kepemimpinan itu, dengan kata lain, LDII mendorong berkembangnya sikap kepemimpinan di berbagai lapisan masyarakat yang berwatak sebagai pelindung, pengayom, menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan, adil dan tidak kalah penting sebagai ‘pelayan’ bagi orang-orang yang dipimpinnya.

Kelima, adalah sukses kesejahteraan. Masyarakat yang sejahtera bukan hanya menyangkut kenyataan-kenyataan lahiriah dan angka statistic belaka, seperti kepemilikan rumah, mobil, dan sebagainya, tapi juga menyangkut kebebasan berorganisasi, kebebasan dan perlindungan dalam menjalankan ibadahnya, dan beberapa aspek kehidupan lainnya agar tercipta rasa keadilan. Ini sesuai dengan pandangan Islam, bahwa tujuan hidup perorangan adalah mencari kebahagiaan dunia dan akhirat yang dicapai melalui kerangka peribadatan kepada Alloh.

Kelima sukses tersebut bukan hanya ditujukan untuk warga LDII tapi harapannya juga terwujud di masyarakat dan bangsa Indonesia. Karena warga adalah bagian dari sebuah masyarakat, maka secara makro ia adalah mahluk sosial yang tidak berdiri sendiri. Artinya, kesuksesan itu tidak hanya menimpa warga LDII, tapi juga diupayakan tercipta di dalam masyarakat dan bangsa Indonesia. Apakah kelima sukses itu sekadar retorika? Mudah-mudahan tidak. Meskipun mungkin berat untuk mewujudkannya, tapi itu adalah konsekuensi dari visi dan misi LDII. Paling tidak, cukup berharga untuk direnungkan.


Oleh : H. Drs. Iskandar Siregar, MSi 
Sumber : www.ldii.or.id

Pasar Memaksa Manusia Jadi Individual

Manusia secara tidak sadar perlahan-lahan membentuk masyarakat yang konsumeris. Inilah yang membentuk masyarakat menjadi terkotak-kotak dalam kantong individualistik, “Apa yang bisa diharap dari masyarakat konsumeris?”. Sedangkan akibatnya adalah individualisme yang mengikis nilai-nilai sosial.

Pasar membuat orang terfragmentasi menjadi individu. Padahal di dalam karakter manusia sebagai makhluk sosial memerlukan komunikasi. Komunikasi yang terjalin dengan sendirinya melahirkan komitmen, lalu menjadi trust (kepercayaan). Inilah yang melahirlah bentuk makhluk sosial, yang akan memunculkan modal sosial.

meski pun masyarakat memiliki modal sosial namun masih memerlukan kecerdasan sosial, untuk meraih tujuan tiap individu dalam satu sistem sosial. Namun semuanya menjadi sia-sia ketika manusia hanya mementingkan diri sendiri. Sikap individualistik inilah yang melahirkan ketidakcerdasan sosial.

Bagaimana membangun kecerdasan sosial?
Syarat kecerdasan sosial adalah bila individu kenal diri, baik potensi maupun kelemahannya, atau sesuatu yang membuat dia tidak suka. Berarti selain potensi kita mengerti benar kelemahan dan emosi. Saya berpikir, sebuah system social yang baik adalah seperti tim bola, mereka menilai diri sendiri lalu menempati posisi masing-masing sesuai potensi mereka. Di sini perlu pelatih yang membimbing dan mengenali potensi.

Kita pernah punya modal sosial, tapi mengapa tak pernah memiliki kecerdasan sosial?
Untuk itulah kita perlu melakukan restorasi dan rekonstruksi kembali modal social kita. Tak perlu menyalahkan Orde Lama, Orde Baru, Orde saat ini. Karena kalau ribut mencari sebab kita akan berdebat terus tapi tak membangun. Manusia tak akan pernah bisa menyelesaikan pekerjaan dengan dendam.

Bagaimana merekonstruksi kembali?
Kenali diri, mulai dari yang kecil dari kita pribadi. Kenali potensi dan dinamika diri. Jadilah tuan dari emosi bukan duta emosi. Jadi semuanya bisa terkontrol. Allah tidak mungkin membuat manusia tidak sempurna, tapi manusia memiliki keterbatasan. Misalnya tidak bisa terbang tapi dengan potensi diri bisa membuat pesawat terbang.

Apakah ada jaminan sistem pendidikan yang bagus menciptakan kecerdasan sosial?
Di sinilah peran leadership, dalam sistem sosial yang sehat akan melahirkan leadership. Dia harus memiliki peran solidarity maker, dia bisa menciptakan kebersamaan di dalam para anggotanya. Selain itu seorang pemimpin harus sekaligus menjadi motivator.

Apakah sistem pendidikan kita tak melahirkan kecerdasan sosial?
Dulu sebenarnya sudah ada. Misalkan pelajaran bercerita, setelah guru bercerita bergantian murid bercerita ulang. Di sini ada proses mendengar dan didengarkan. Pelajaran ini membentuk watak manusia menjadi makhluk sosial. Pelajaran olah raga yang mementingkan permainan tim diajarkan. Sekarang ini pelajaran-pelajaran itu dikesampingkan. Inilah yang membentuk manusia menjadi individualistik.

Bagaimana dengan negara lain, apakah yang membuat mereka menjadi maju?
Di Cina dan India, kemajuan itu karena factor leadership. Dalam system social yang diperlukan adalah pemimpin transformasional, yang membimbing manusia dari jaman jahiliyah menjadi yang cerah, dari keadaan buruk menjadi baik. Dari kehilangan modal sosial menjadi memiliki modal sosial.

Bagaimana dengan dunia Islam?
Nabi Muhamad SAW adalah sosok pemimpin transformasional. Dia tak menetapkan target teknis, tapi mentransformasi manusia yang tak produktif menjadi produktif. Bila ini terjadi, dengan sendirinya target teknis teraih. Bedanya pemimpin sekarang menetukan target tapi tak pernah membangun manusianya.

Lalu bagaimana membangun leadership?
Memilih pemimpin tak bisa dengan cara menjiplak Negara maju. Harus disesuaikan dengan budaya. Dalam masyarakat yang tingkat pendidikannya rendah tak perlu pemilihan langsung. Tapi dalam masyarakat yang pendidikannya tinggi pemilihan langsung menjadi perlu. Nah di sinilah fungsi partai, membentuk kader pemimpin bangsa. Partai bukanlah kendaraan untuk menjadi pemimpin.

Oleh : Ir Prasetyo Soenaryo, MT, Ketua DPP LDII
Sumber : www.ldii.or.id

Islam Tak Cukup dengan Jenggot Panjang dan Surban

Jenggot panjang, memakai surban, dan celana di atas tumit itu bagus. Tapi hal-hal yang bersifat simbolik itu tidak cukup untuk dinilai bahwa dia telah mengamalkan ajaran Islam. Ulama terdahulu, seperti Ibnu Sina, Imam Al-Ghozali dan sejumlah tokoh Islam lain juga punya jenggot yang panjang dan juga pakai surban. Namun, sekali lagi, Islam tidak cukup hanya dengan jenggot dan surban saja.
KETUA Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Said Aqil Siraj mengungkapkan hal tersebut saat menghadiri acara Maulid Akbar di Masjid At-Tin, di Kompleks Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. “Mengamalkan ajaran Islam tidak cukup hanya dengan memelihara jenggot hingga panjang, memakai surban, dan memakai celana dengan tinggi di atas tumit saja. Sebab, ajaran Islam cukup luas dan tidak bisa terwakilkan oleh sekedar simbol belaka,” paparnya.
Pernyataan Kang Said, demikian ia akrab disapa, itu merupakan tanggapan terhadap wacana kembali kepada madzhab Salafy yang dimunculkan sejumlah kelompok di Indonesia. Namun, ia menegaskan, penerapan madzhab Salafy tidak cukup hanya dengan pelaksanaan hal-hal yang simbolik. “Ulama terdahulu dan sejumlah tokoh Islam lain juga mempunyai jenggot yang panjang dan juga memakai surban. Namun, sekali lagi, Islam tidak cukup dengan jenggot dan surban saja,” tuturnya.
Orang yang sudah beriman saja, ujar Kang Said, masih belum cukup. Sebab, orang yang telah beriman harus disempurnakan dengan amal dan ibadah yang baik, serta perilaku yang terpuji. Keimanan masih harus ditopang dengan moral dan prilaku yang baik,” jelas doktor jebolan Universitas Umul Quro’ Mekkah, Arab Saudi, itu.

KESAN konservatif, seperti umumnya para kiai di Indonesia, tak tersirat pada diri Said Aqiel Sirad. Sikap ulama asal Palimanan, Cirebon, Jawa Barat, itu bisa dikatakan sangat moderat. Bahkan, ia cenderung kontroversial. Keberaniannya mempertanyakan kembali dasar-dasar penting yang telanjur baku dalam praktik kehidupan beragama umat Islam mengingatkan orang kepada apa yang pernah dilakukan pendahulunya, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dan Nurcholish Madjid.
Atas keberanian sikapnya yang "kelewat batas" itu, Said Aqiel pernah dikafirkan oleh 12 orang kiai. Ada pula yang melayangkan surat ke almamaternya –Universitas Ummul Qura’ – Mekkah, meminta agar mencabut gelar doktornya. "Jangankan gelar doktor, gelar haji pun ambillah. Enggak usah digelari haji juga enggak apa-apa," tukasnya menanggapi serangkaian tudingan "miring" atas dirinya itu.
Tudingan "miring" itu bermula dari sejumlah sikapnya yang dinilai nyeleneh. Misalnya, ia menjalin persahabatan yang begitu erat dengan tokoh-tokoh non-muslim, seperti Romo Mangunwijaya (almarhum), Romo Mudji Sutrisno, dan Romo Sandyawan Sumardi. Ia juga tercatat sebagai salah satu penasihat Angkatan Muda Kristen Republik Indonesia.
Lalu, minatnya terhadap masalah kebangsaan dan hak asasi manusia juga tercermin dari keberadaannya sebagai salah satu pendiri Gerakan Keadilan dan Persatuan Bangsa, bersama tokoh-tokoh seperti Siswono Yudohusodo dan Sarwono Kusumaatmadja. Selain itu, ia juga bergabung dalam Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa Kerusuhan 12-14 Mei 1998.
Menurut Said Aqil, serangkaian sepak terjangnya itu bukan tanpa alasan. Ia hanya ingin menunjukkan tiga hal penting yang seharusnya menjadi dasar penghayatan agama oleh setiap orang: toleran, moderat, dan akomodatif. "Islam yang benar itu, ya, moderat, toleran, dan akomodatif," tandas kiai yang senantiasa berpenampilan sederhana itu.
Dibesarkan di lingkungan pesantren, ahli tasawuf ini asli Cirebon. Ayahnya, Kiai Aqil Siraj, adalah seorang ulama bersahaja yang memiliki pondok pesantren kecil di Desa Kempeg, Kecamatan Ciwaringin, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Pesantren itu kini dikelola oleh saudara-saudara K.H. Said Aqil Siraj dan menampung sekitar seribu murid.
Said Aqil menamatkan pendidikan Madrasah Ibtidaiyah (setingkat Sekolah Dasar) di kampung halamannya. Masa pendidikan pesantren setingkat sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas dihabiskannya di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Pada 1980, didampingi istrinya (Nurhayati), ia melanjutkan studi dengan beasiwa di Tanah Suci Mekkah, Arab Saudi. Hidup di perantauan dilaluinya hingga 1994, dengan oleh-oleh gelar doktor bidang Ushuluddin (ilmu perbandingan agama) dari Universitas Ummul Qura’ - Mekkah. Dan di Mekkah pula keempat buah hatinya lahir.
Meski dikenal sebagai intelektual yang kritis, Said Aqil ternyata mempunyai sense of humour yang lumayan tinggi. Suatu hari, ia bercerita tentang kekonyolan penyeragaman yang dilakukan Gubernur Jawa Tengah Soewardi di masa lalu melalui program kuningisasi menjelang dan selama Pemilihan Umum 1997. "Saat itu, jangankan trotoar serta pagar, bedug mesjid, bahkan hewan kurban yang hendak dipotong pada Idul Adha pun harus dicat kuning," tuturnya. "Itu ‘kan konyol," tambah kiai yang juga mengajar di Universitas Islam Malang dan Perguruan Tinggi Ilmu Quran, Jakarta, itu.
MENGENAI kualitas umat Islam secara umum yang harus diperjuangkannya, dalam suatu kesempatan KH Said Aqil Siraj mengatakan bahwa saat ini beberapa kalangan Islam di Indonesia memahami agama Islam dengan sangat ekstrim (tatharruf). Mereka sering mengklaim diri sebagai Islam yang kaffah (menyeluruh) tetapi sebenarnya tidak pernah kaffah.
Bahwa Islam bukan hanya akidah dan syariah seperti yang mereka katakan, tetapi juga menawarkan budaya, peradaban dan moderasi Islam. Nah inilah yang ditawarkan NU dan inilah yang harus kita angkat, katanya.
Menurut Kang Said, NU juga harus menjaga, mengawal dan menjadi tameng keutuhan negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) karena NU berjasa besar ikut membangun dan mendirikan negara ini. Kita harus bersyukur kepada leluhur kita di mana beliau-beliau pada Muktamar di Banjarmasin 1936 sepakat membangun darus salam (negara kesejahteraan) bukan negara Islam. Para ulama merekrut semua komponen yang ada, baik lintas agama, etnis, budaya dan seterusnya. Ini memperkuat sumpah pemuda satu bangasa satu nusa dan satu bahasa, katanya.
Sikap seperti itu, kata Kang Said, terbentuk karena NU tidak terlalu mementingkan simbol, tidak legal formal, tidak mementingkan hal-hal yang bersifat lahir semata. Lebih penting lagi adalah nilai dan substansi Islam itu sendiri.
Di sisi lain, memang orang-orang nasionalis pada zaman itu adalah bukan orang-orang universal, bukan nasionalis sekuler yang betul-betul tidak memasukkan faktor agama atau tidak menginginkan agama campur tangan dalam kehidupan bernegara. Mereka bukan orang-orang nasionalis sebagaimana yang ditulis Ernast Renan dalam Whats the Nation tahun 1980, sehingga waktu itu Soekarno, Agus Salim, Kahar Muzakkar, Kiai Wahab Hasbullah, Wahid Hasyim dan Moh Hatta bisa saling ketemu,” katanya.
 
Sumber : http://www.ldii.or.id , wawancara dengan Ketua PBNU, Prof. Dr. KH Said Aqil Siraj

Jumat, 21 Maret 2008

MENCARI KEBAHAGIAAN HAKIKI.....

Saya sangat berbahagia bisa memenuhi permintaan dari sekian banyak sahabat yang menginginkan saya menulis. Mereka senantiasa mendorong saya untuk segera melakukannya. Buku ini merupakan buku pertama dari Seri Teknologi Quantum Ikhlas®. Memang belum cukup menggambarkan pergumulan panjang saya selama hampir 20 tahun mengembara ke dalam diri untuk mencoba menemukan arti “kesempurnaan” dalam hidup ini.
Sejak kecil saya merasa bahwa di balik semua hiruk-pikuk kegiatan manusia di dunia ini sebenarnya ada satu hal yang dicari oleh manusia. Jika kita dapatkan maka kita seperti mendapatkan seluruh isi dunia, tetapi bila tidak memilikinya, meskipun kita mungkin memiliki “segalanya” kita seperti tidak memiliki apa-apa. Ya, kebahagiaan adalah yang sebenarnya kita cari. Kebahagiaan hakiki, sejati yang tak tergoyahkan. Bukan sekadar kesenangan atau kenyamanan-kenyamanan hidup semata. Kebahagiaan adalah subjek primordial. Itulah sebagian yang akan diulas dalam buku ini, bagaimana mencari kebahagiaan secara praktis, seperti yang tertuang dalam kebijaksanaan nenek moyang, tuntunan agama, maupun penjelasan ilmiah.
Kebahagiaan itu merupakan sifat dasar alamiah atau fitrah manusia dan karena itu sewajarnya bisa dengan mudah kita raih. Buku ini akan memandu Anda untuk mendapat ke-ngeh-an, sehingga Anda dengan lega bisa mengatakan “Ooo...begitu....”, dan begitu terjadi internal-shift pergeseran posisi pandang di dalam, hidup Anda otomatis berubah di luar. Hal-hal yang bersifat spiritual seperti itu, biasanya memang tidak mudah untuk dijelaskan, dan dengan bantuan teknologi gelombang otak DigitalPrayer® Alphamatic buku ini akan menjelaskannya sesederhana dan serasional mungkin untuk Anda. Bahasan buku ini diarahkan untuk bisa memahami mengapa sikap ikhlas sangat diperlukan dalam hidup ini, dan yang terpenting bagaimana mengenali rasa-nya dan cara-cara (how-to) mencapainya. Sebagian orang menafsirkan ikhlas secara salah.
Komponen ikhlas yang terdiri dari sikap syukur, sabar, fokus, tenang dan bahagia, justru dianggap sikap yang lemah. Sikap itu dikhawatirkan akan membuat mereka kurang dihargai orang, tidak tercukupi secara materi, atau tidak tercapainya tujuan hidup karena tidak adanya ambisi. Padahal yang terjadi justru sebaliknya. Dalam kondisi ikhlas—yang sekarang telah dibuktikan secara ilmiah manusia justru akan menjadi sangat kuat, cerdas dan bijaksana. Kita bisaberpikir lebih jernih, mampu menjalani hidup dengan lebih efektif dan produktif untuk mencapai tujuan. Bahkan hubungan kita dengan siapa punakan terjalin semakin menyenangkan.

(Dikutip dari buku Quantum Ikhlas
Karya Erbe Sentanu)

WUJUDKAN RASA CINTA KASIH DENGAN UKHUWAH ISLAMIYAH !!!

Fenomena hari kasih sayang selalu saja mengundang perhatian. Bagi sebagian orang adanya hari kasih sayang ini menurut mereka merupakan moment yang sangat tepat untuk merayakan bersama orang yang dikasihinya, maksud mereka dihari kasih sayang mereka ingin mengekspresikan rasa cinta dan sayang mereka terhadap seseorang yang istimewa untuknya. namun seringkali tindakan yang dilakukan justru melenceng jauh dari maksud sebelumnya yang kelihatanya baik dan akhirnya menjurus ke hal hal yang berbau kemaksiatan, dan yang lebih parahnya lagi sebenarnya mereka sadar bahwa perbuatan mereka adalah perbuatan maksiat namun mereka cuek dan tetap merasa enjoy saja seolah olah itu sah sah saja, dan mereka tetap “istiqomah” merayakanya setiap saat hari itu tiba.
Fenomena inilah yang seolah menjadi tradisi setiap hari kasih sayang (Valentine) tiba, di mana untuk merayakannya yang sebagian besar dilakukan para muda mudi terasa kurang “afdhol” jika tidak dibarengi campur-baur antara laki-laki dan perempuan dengan beragam aktivitas maksiatnya, pesta semalam suntuk disertai pesta miras seakan menjadi keharusan, tukar menukar kado yang kemudian menjurus ke pergaulan bebas bahkan free seks dilakukan dengan sukarela. Inilah trend gaya hidup generasi muda saat ini, dimana budaya–budaya hedonis, permissive sudah sedemikian dalam merasuki tingkah laku generasi muda, jauh sekali dari nilai-nilai agama islam yang menjaga kehormatan, kemuliaan dan derajat manusia. Dalam islam rasa cinta dan kasih sayang terwujud dalam ukhuwah islamiah, dimana dalam ukhuwah islamiah
tersebut rasa cinta dan kasih sayang yang dimiliki manusia tersalurkan pada tempat yang semestinya, menempatkanmanusia benar-benar sesuai dengan jati dirinya sebagai makhluk Allah dengan segenap kekurangannya serta juga interaksinya dengan makhluk Allah yang lain. Islam juga memberikan tuntunan perwujudan rasa cinta dan kasih sayang tersebut, rasa cinta terhadap Allah dan Rasul Nya menjadi suatu kenikmatan, anak mencintai dan memuliakan kedua orang tuanya, orang tua menyayangi dan memelihara urusan anak-anaknya. Silaturrahim kepada tetangga dan kerabat menjadi sesuatu yang suci; berbakti kepada orang tua menjadi kewajiban suci para anak; para wanita mencintai dan menaati suaminya; para suami senantisa memperhatikan dan melindungi para istri; peka dan perhatian terhadap masyarakat menjadi ketentuan syariat. Semua itu terpelihara dalam kehidupan kaum muslim dan menjadi ikatan cinta dan kasihsayang yang penuh kehangatan.
Dengan demikian rasa cinta yang dimiliki manusia menjadi rahmat yang akan menempatkan manusia sesuai dengan fitrah dan kemuliaanya, menghindarkan manusia terjerumus dalam jurang kemaksiatan dan derajat yang rendah. Ukhuwah islamiah menjadi perekat yang sempurna antara sesama manusia dan didalamnya benar benar dipenuhi kehangatan, rasa cinta dan kasih sayang dan yang lebih penting lagi cinta dan ridho Allah SWT akan senantiasa menaungi kita.

Wallah a’lam bi ash-shawab.


By: @gung A.(REMAJA LDII JAZOM MALANG)
JL Jombang III/22 Kota Malang

Selasa, 18 Maret 2008

PROFIL


Family Name : Ismail Pramu Widya Bhakti
Sex : Male
Marital Status : Single
Date of Birth : September, 1983
Nationality : Indonesia
Address : JL Jombang III/22, Klojen Kota Malang, 65115
Phone : 0341-582942

E-mail Address : ismail_bhakti@yahoo.co.id

Blog : ismail-bhakti.blogspot.com

profiles.friendster.com/ismailbhakti