Saat ini di Pangkalan Bun lagi ada perbincangan yang hangat terkait isu pemekaran wilayah-wilayah eks Kesultanan Kutaringin yang berencana melepaskan diri dari Propinsi Kalteng dan akan membentuk propinsi baru yang kabarnya meliputi 5 Kabupaten (Kotawaringin Barat, Kotawaringin Timur, Sukamara, Lamandau, dan Seruyan). Menurut obrolan yang beredar di warung-warung kopi, pangkalan ojek, instansi pemerintah, hingga para kerabat Kesultanan, wilayah propinsi yang akan dibentuk nanti bisa lebih unggul secara ekonomi dari propinsi Induk mengingat sumber daya ekonomi Kalteng sebagian besar berada di lima Kabupaten tersebut. Bayangkan saja, 2 Pelabuhan utama Kalteng yaitu Pelabuhan Sampit dan Kumai yang merupakan jalur bagi 95 % ekspor Kalteng ada di wilayah eks Kesultanan Kutaringin ini. Perkebunan Besar Sawit (PBS) berskala nasional juga ada disini, belum lagi dihitung dengan perusahaan industri perkayuan, pertambangan, dan lainnya. Obyek-obyek wisata utama Kalteng juga hampir seluruhnya ada di Wilayah eks Kesultanan Kutaringin ini.
Asal mula berkembangnya upaya pemekaran daerah ini dipicu oleh ketidakpuasan Bupati Kotawaringin Barat terhadap kebijakan Gubernur yang menetapkan Kota Palangkaraya sebagai pintu gerbang wisata Kalteng. Padahal tujuan utama wisata Kalteng sendiri ada di Pangkalan Bun (Ibukota Kabupaten Kotawaringin Barat) yang berjarak 10-12 jam perjalanan darat dari Palangkaraya. Dengan alasan pemerataan dampak ekonomi wisata, maka diskenariokan bahwa wisatawan yang datang dari Palangka Raya (setelah mendarat di Bandara Tjilik Riwut) sebelum menuju Pangkalan Bun (yang merupakan tujuan utama wisata) akan disinggahkan di beberapa tempat wisata di Jalur poros antara Palangka Raya menuju Pangkalan Bun.
Sementara Bupati Kobar (Kotawaringin Barat) malah berkeinginan agar Bandara Iskandar di Pangkalan Bun diperluas dan dirombak agar bisa didarati pesawat-pesawat berbadan lebar, sehingga lebih efisien dan memudahkan para wisatawan yang hendak datang langsung ke obyek utama wisata di Pangkalan Bun tanpa harus melewati Kota Palangkaraya terlebih dulu. Tentu saja keinginan Bupati ini ditolak oleh Gubernur karena akan berdampak pada kesenjangan ekonomi daerah antara wilayah barat dan timur Kalteng. Akhirnya perbedaan kepentingan ini lalu memunculkan wacana pemekaran propinsi baru di Kalteng. Hal ini bisa jadi menjadi kabar gembira bagi para birokrat dan elit politik lokal karena membuka kesempatan mereka untuk memperebutkan posisi-posisi penting di pemerintahan propinsi baru nanti.
Jika pemekaran wilayah baru dianggap menguntungkan bagi orang-orang di daerah, lain halnya bagi pemerintah pusat yang mana adanya pemekaran malah semakin membebani anggaran pusat. Tidak hanya terbebani oleh mahalnya membangun fasilitas perkantoran baru, tapi juga karena bertambahnya biaya pilkada-pilkada baru dan biaya sosial-politik yang ditimbulkannya seperti ancaman konflik pilkada seperti yang dialami oleh ternate, tuban, dan beberapa tempat lainnya. Jadi sebaiknya kebijakan apakah yang perlu dijalankan pemerintah untuk menyiasati permasalahan ini agar tidak menimbulkan masalah baru di kemudian hari. Tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar daerah yang dimekarkan justru anggarannya semakin bergantung pada pemerintah pusat melalui Dana Alokasi Umum (DAU) maupun Dana Alokasi Khusus (DAK).
Di Indonesia saat ini sudah terdapat sekitar 34 propinsi (terbaru adalah propinsi Sulawesi Barat) dan sejauh ini belum pernah ada evaluasi menyeluruh terhadap kinerja pengelolaan dan pembangunan pada masing-masing daerah pasca dimekarkan. Pemerintah pusat sebaiknya bekerjasama dengan media dan lembaga-lembaga independen untuk mengkaji kelayakan dan keefektifan pemerintahan propinsi yang telah dimekarkan dalam memenuhi standar pelayanan publik, kelengkapan infrastruktur yang dimiliki, dan tingkat kemandirian dalam penyediaan anggaran. Idealnya evaluasi dilakukan setiap lima tahun sekali dan jika masih ada daerah pemekaran yang belum mandiri, masih terbelakang, atau malah lebih buruk dari kondisi sebelumnya, maka sebaiknya daerah tersebut dikembalikan ke wilayah induknya. Dengan demikian jika hal ini diterapkan akan mendorong daerah-daerah yang dimekarkan tersebut berpacu untuk memberdayakan potensi yang dimilikinya agar tak terus-menerus bergantung pada pemerintah pusat. Selain itu setidaknya hal itu akan membuat daerah lain yang ingin dimekarkan agar berhitung dulu dengan cermat untuk mengukur potensi dan kemampuan yang dimilikinya sebelum pisah dengan wilayah induk.
Pemekaran yang saat ini perlu diupayakan adalah pemekaran pusat-pusat perekonomian dengan penyediaan infrastruktur dan fasilitas pelayanan publik yang merata, jadi wacana pemekaran bukan hanya terkonsentrasi pada pemekaran wilayah administratif saja. Saat ini sepanjang pengetahuan saya di Kalimantan ada begitu banyak wilayah-wilayah baru hasil pemekaran, tapi setelah bertahun-tahun dimekarkan hingga berganti Kepala Daerah berikutnya, kondisi infrastruktur dan fasilitas pelayanan publik masih saja memprihatinkan. Kondisi jalan-jalan masih banyak yang rusak, listrik masih sering padam, dan pelayanan kesehatan yang belum merata jangkauannnya. Dengan demikian pemekaran wilayah sama sekali bukan solusi ataupun jaminan akan adanya perbaikan dan pemerataan pembangunan bagi wilayah tersebut. Pemerintah pusat pun harusnya tanggap bahwa dengan adanya tuntutan pemekaran wilayah di beberapa daerah khususnya di Kalteng sebenarnya yang diminta adalah adanya peningkatan alokasi anggaran pembangunan yang adil agar tidak ada daerah yang merasa dianaktirikan atau merasa direndahkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar