Sabtu, 27 September 2008

Kesabaran sebagai Jalan Menuju Kemenangan

Di masa-masa sulit seperti ini seiring meningkatnya harga-harga barang, kelangkaan BBM, terbatasnya lapangan kerja, minimnya penghasilan masyarakat, bertambahnya konflik-konflik sosial dan tindak kriminalitas benar-benar telah menimbulkan banyak kekacauan dimana-mana. Hampir setiap hari di media massa rutin diberitakan terjadinya unjuk rasa, pertikaian politik, tawuran, penggusuran, aksi anarkisme berkedok agama, hingga keributan yang sering terjadi saat mengantri sembako, BLT (Bantuan langsung Tunai), bahkan saat pembagian zakat yang memakan korban baru-baru ini setidaknya telah memberikan gambaran bahwa masyarakat sudah tidak bisa bersikap sabar lagi dengan berbagai macam penderitaan yang mereka alami.

Bulan puasa yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk melatih sikap sabar (tahan uji) dan mengendalikan hawa nafsu ternyata hanya menjadi kegiatan ritual untuk menahan lapar dan haus belaka. Padahal poin penting yang dituntut dalam ibadah puasa ini selain menahan lapar dan haus juga kemampuan untuk mengendalikan pikiran dan tindakan kita. Tidak ada gunanya orang yang berpuasa jika ia mudah mencaci-maki, suka berdusta, menipu, bersikap kasar, menganiaya orang lain, bahkan memprovokasi atau menghasut agar terjadi konflik. Hal yang lebih ironis lagi jika itu dilakukan oleh sekelompok orang yang suka mengatasnamakan agama dalam melakukan aksi brutalnya seperti FPI yang rajin merazia tempat hiburan malam, miras, perjudian, bahkan sering terlibat tawuran dengan kelompok-kelompok lain yang dianggap berseberangan.

"Hormatilah orang-orang yang berpuasa….!!!" Begitulah slogan yang sering dilontarkan para alim ulama, tidak terkecuali kelompok-kelompok garis keras yang ngakunya Islam macam FPI sehingga menjadi dasar bagi mereka untuk menghajar siapapun yang dianggap menodai kesucian bulan puasa. Sikap kasar mereka seperti itu justru merusak citra Islam sebagai agama yang membawa nilai-nilai perdamaian dan akhlaqul karimah (moral prilaku yang mulia/santun), apalagi jika itu justru dilakukan di bulan puasa yang begitu mulia seperti saat ini. Jika memang berniat memuliakan agama, seharusnya mereka memberikan contoh sikap-sikap santun seorang muslim yaitu : berkata yang baik, toleran, ramah, dan bersikap bijak (tidak asal menuduh). Meski FPI dalam setiap aksinya selalu membawa atribut atau simbol-simbol Islam, tapi dalam kenyataannya sikap anarkis mereka tersebut telah membawa mereka keluar jauh dari nilai-nilai keislaman itu sendiri.

Seandainya sikap sabar itu dipraktikkan dengan sungguh-sungguh, bukan sekedar menjadi pemanis dalam khotbah dan ceramah-ceramah agama maka jelas lambat laun akan memancing simpati masyarakat luas di negara multikultur seperti Indonesia ini. Bukankah dahulu Nabi Muhammad telah mencontohkan ketika ia berdakwah dan mendapatkan hinaan dan penganiayaan dari kaum yang menentangnya di Mekah, beliau tidak membalasnya dengan reaksi keras malahan justru mendoakan kaum tersebut agar mendapat hidayah dan rahmat dari Allah. Kesabaran nabi Muhammad dalam berdakwah justru mampu merebut simpati dan kepercayaan para penentangnya, sehingga tidak heran jika Kota Mekah kemudian berhasil dikuasai dengan damai, tanpa kekerasan, dan tanpa makian karena mereka meski menentang Nabi Muhammad tetap sangat menghormati kebesaran jiwa utusan Allah tersebut. Nabi Muhammad tidak pernah dendam pada penduduk Mekah meski sebelumnya ia pernah diusir dari Kota Kelahirannya itu, padahal saat penaklukan Mekah tersebut beliau membawa ribuan tentara tapi tak ada satupun pedang yang terhunus ataupun tindakan provokatif yang dilakukan saat mereka memasuki Mekah.

Kesabaran janganlah diartikan sebagai sikap lemah, rendah diri, dan ketidakberdayaan, tapi jadikan kesabaran sebagai wujud keteguhan jiwa dalam mencapai suatu tujuan. Sikap sabar menunjukkan kematangan seseorang dalam bertindak, konsisten, tahan uji, tidak mudah dihasut/diprovokasi, serta menunjukkan kualitas keimanan seseorang. Percayalah jika kita selalu bersabar dalam menjalani kehidupan kita dengan konsisten, sungguh-sungguh, dan selalu berpikir positif (tidak berprasangka buruk), maka yakinlah bahwa pertolongan dan kemenangan akan segera tiba. Bukankah kesabaran seorang Nelson Mandela dan para pengikutnya untuk meruntuhkan rezim aparteheid Afrika Selatan dengan cara-cara damai dan bijak telah berbuah manis sehingga menimbulkan simpati dan dukungan dari seluruh masyarakat internasional untuk menghentikan penindasan kaum apartheid yang telah berlangsung puluhan tahun tersebut…? Itu adalah sebagian contoh bahwa kesabaran merupakan jalan yang terbaik untuk meraih kemenangan. Dan saat ini seluruh umat muslim sedunia yang sedang berpuasa sedang menunggu datangnya hari kemenangan yang mereka tunggu-tunggu selama ini setelah sebulan penuh bersabar menahan lapar, haus, dan mengendalikan hawa nafsu yaitu Hari raya Idul Fitri. Mari kita rayakan hari kemenangan tersebut dengan memperbanyak silaturrahim kepada para tetangga, sanak-famili, dan rekan-rekan kita.

SELAMAT HARI RAYA IDULFITRI 1429 HIJRIAH, MOHON MAAF LAHIR DAN BATHIN…

"TAQOBBALALLOHU MINNA WA MINKUM"

Kamis, 18 September 2008

Sebenarnya Indonesia Butuh Berapa Propinsi ???

Saat ini di Pangkalan Bun lagi ada perbincangan yang hangat terkait isu pemekaran wilayah-wilayah eks Kesultanan Kutaringin yang berencana melepaskan diri dari Propinsi Kalteng dan akan membentuk propinsi baru yang kabarnya meliputi 5 Kabupaten (Kotawaringin Barat, Kotawaringin Timur, Sukamara, Lamandau, dan Seruyan). Menurut obrolan yang beredar di warung-warung kopi, pangkalan ojek, instansi pemerintah, hingga para kerabat Kesultanan, wilayah propinsi yang akan dibentuk nanti bisa lebih unggul secara ekonomi dari propinsi Induk mengingat sumber daya ekonomi Kalteng sebagian besar berada di lima Kabupaten tersebut. Bayangkan saja, 2 Pelabuhan utama Kalteng yaitu Pelabuhan Sampit dan Kumai yang merupakan jalur bagi 95 % ekspor Kalteng ada di wilayah eks Kesultanan Kutaringin ini. Perkebunan Besar Sawit (PBS) berskala nasional juga ada disini, belum lagi dihitung dengan perusahaan industri perkayuan, pertambangan, dan lainnya. Obyek-obyek wisata utama Kalteng juga hampir seluruhnya ada di Wilayah eks Kesultanan Kutaringin ini.

Asal mula berkembangnya upaya pemekaran daerah ini dipicu oleh ketidakpuasan Bupati Kotawaringin Barat terhadap kebijakan Gubernur yang menetapkan Kota Palangkaraya sebagai pintu gerbang wisata Kalteng. Padahal tujuan utama wisata Kalteng sendiri ada di Pangkalan Bun (Ibukota Kabupaten Kotawaringin Barat) yang berjarak 10-12 jam perjalanan darat dari Palangkaraya. Dengan alasan pemerataan dampak ekonomi wisata, maka diskenariokan bahwa wisatawan yang datang dari Palangka Raya (setelah mendarat di Bandara Tjilik Riwut) sebelum menuju Pangkalan Bun (yang merupakan tujuan utama wisata) akan disinggahkan di beberapa tempat wisata di Jalur poros antara Palangka Raya menuju Pangkalan Bun.

Sementara Bupati Kobar (Kotawaringin Barat) malah berkeinginan agar Bandara Iskandar di Pangkalan Bun diperluas dan dirombak agar bisa didarati pesawat-pesawat berbadan lebar, sehingga lebih efisien dan memudahkan para wisatawan yang hendak datang langsung ke obyek utama wisata di Pangkalan Bun tanpa harus melewati Kota Palangkaraya terlebih dulu. Tentu saja keinginan Bupati ini ditolak oleh Gubernur karena akan berdampak pada kesenjangan ekonomi daerah antara wilayah barat dan timur Kalteng. Akhirnya perbedaan kepentingan ini lalu memunculkan wacana pemekaran propinsi baru di Kalteng. Hal ini bisa jadi menjadi kabar gembira bagi para birokrat dan elit politik lokal karena membuka kesempatan mereka untuk memperebutkan posisi-posisi penting di pemerintahan propinsi baru nanti.

Jika pemekaran wilayah baru dianggap menguntungkan bagi orang-orang di daerah, lain halnya bagi pemerintah pusat yang mana adanya pemekaran malah semakin membebani anggaran pusat. Tidak hanya terbebani oleh mahalnya membangun fasilitas perkantoran baru, tapi juga karena bertambahnya biaya pilkada-pilkada baru dan biaya sosial-politik yang ditimbulkannya seperti ancaman konflik pilkada seperti yang dialami oleh ternate, tuban, dan beberapa tempat lainnya. Jadi sebaiknya kebijakan apakah yang perlu dijalankan pemerintah untuk menyiasati permasalahan ini agar tidak menimbulkan masalah baru di kemudian hari. Tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar daerah yang dimekarkan justru anggarannya semakin bergantung pada pemerintah pusat melalui Dana Alokasi Umum (DAU) maupun Dana Alokasi Khusus (DAK).

Di Indonesia saat ini sudah terdapat sekitar 34 propinsi (terbaru adalah propinsi Sulawesi Barat) dan sejauh ini belum pernah ada evaluasi menyeluruh terhadap kinerja pengelolaan dan pembangunan pada masing-masing daerah pasca dimekarkan. Pemerintah pusat sebaiknya bekerjasama dengan media dan lembaga-lembaga independen untuk mengkaji kelayakan dan keefektifan pemerintahan propinsi yang telah dimekarkan dalam memenuhi standar pelayanan publik, kelengkapan infrastruktur yang dimiliki, dan tingkat kemandirian dalam penyediaan anggaran. Idealnya evaluasi dilakukan setiap lima tahun sekali dan jika masih ada daerah pemekaran yang belum mandiri, masih terbelakang, atau malah lebih buruk dari kondisi sebelumnya, maka sebaiknya daerah tersebut dikembalikan ke wilayah induknya. Dengan demikian jika hal ini diterapkan akan mendorong daerah-daerah yang dimekarkan tersebut berpacu untuk memberdayakan potensi yang dimilikinya agar tak terus-menerus bergantung pada pemerintah pusat. Selain itu setidaknya hal itu akan membuat daerah lain yang ingin dimekarkan agar berhitung dulu dengan cermat untuk mengukur potensi dan kemampuan yang dimilikinya sebelum pisah dengan wilayah induk.

Pemekaran yang saat ini perlu diupayakan adalah pemekaran pusat-pusat perekonomian dengan penyediaan infrastruktur dan fasilitas pelayanan publik yang merata, jadi wacana pemekaran bukan hanya terkonsentrasi pada pemekaran wilayah administratif saja. Saat ini sepanjang pengetahuan saya di Kalimantan ada begitu banyak wilayah-wilayah baru hasil pemekaran, tapi setelah bertahun-tahun dimekarkan hingga berganti Kepala Daerah berikutnya, kondisi infrastruktur dan fasilitas pelayanan publik masih saja memprihatinkan. Kondisi jalan-jalan masih banyak yang rusak, listrik masih sering padam, dan pelayanan kesehatan yang belum merata jangkauannnya. Dengan demikian pemekaran wilayah sama sekali bukan solusi ataupun jaminan akan adanya perbaikan dan pemerataan pembangunan bagi wilayah tersebut. Pemerintah pusat pun harusnya tanggap bahwa dengan adanya tuntutan pemekaran wilayah di beberapa daerah khususnya di Kalteng sebenarnya yang diminta adalah adanya peningkatan alokasi anggaran pembangunan yang adil agar tidak ada daerah yang merasa dianaktirikan atau merasa direndahkan.