Jumat, 20 Februari 2009

Belajar dari Penataan Kota Palangkaraya

Kota Palangkaraya merupakan Ibukota Propinsi Kalimantan Tengah yang dirancang sebagai kota tropis di tepi Sungai Kahayan. Pembangunan Kota Palangkaraya ditandai dengan pemancangan tiang pertama pembangunan kota oleh Presiden RI pertama yaitu Ir. Soekarno pada tanggal 17 Juli 1957. Berdasarkan konsep desain kota Palangkaraya awal mulanya dan menurut tahapan pembangunan kotanya bahwa pembangunan kota Palangkaraya yang diawali dengan peletakan tiang pertama (sekarang bernama Monumen Peletakan Batu Pertama Pembangunan Kota Palangkaraya), secara berurutan di ikuti dengan pembangunan dermaga ( sekarang dikenal dengan nama Dermaga Gubernuran), Kantor Gubernur ( sekarang berubah fungsi menjadi Gedung DPRD Propinsi), Istana Gubernur (depan bundaran besar), Bundaran (sekarang bernama Bundaran Besar), Kantor – kantor Pemerintah dan perumahan pegawai pemerintah. Pada bundaran terdapat 3 (tiga) jalan yang memusat ke bundaran yaitu sekarang bernama JL. Tjilik Riwut, Jl. Yos Sudarso dan Jl. Imam Bonjol. Dan apabila as/poros Dermaga Gubernuran, Monumen, Kantor Gubernur (sekarang DPRD propinsi), Bundaran besar dan Jl. Yos Sudarso ditarik garis lurus, maka akan didapati sumbu yang mengarah ke arah timur laut dan barat daya, dan bila diteruskan maka sumbu yang ke arah timur laut akan melintasi Sungai Kahayan yang mana menurut kebudayaan dayak, sungai adalah sumber kehidupan.

Bundaran Besar dan sekitarnya

Sedangkan apabila sumbu yang kearah barat daya diteruskan tak terhingga ke arah barat daya, maka sumbu ini akan melintasi Kota Jakarta, diduga tepat di Istana Negara. Selain itu baru – baru ini juga di temukan adanya konsep awal penataan kota Palangkaraya seperti jaring laba – laba (diduga hasil sketsa Ir. Soekarno) yang semuanya jika dihubungkan akan berakhir pada sumbu utama yaitu tepatnya di jalan Yos Sudarso. Sumbu merupakan suatu metoda penyusunan yang telah digunakan sepanjang sejarah untuk mengorganisir bentuk- bentuk bangunan dan ruang.

Menurut sejarah awal terbentuknya sesuai rencana Bung Karno, Kota Palangkaraya mempunyai empat jalan utama yang terpusat di bundaran besar yaitu jalan Yos Sudarso, Jalan Imam Bonjol, Jalan R.T.A Milono dan Jalan G. Obos yang sekarang merupakan Komplek kantor Gubernuran. Adapun pusat pemerintahan berada di sekitar Bundaran Besar. Pada awal mula terbentuk kota Palangkaraya, jalan-jalan ini pernah direncanakan sebagai landasan udara bagi pesawat Presiden dan Wakil Presiden saat itu bila Kota Jakarta dalam keadaan darurat. Oleh karena itu lebar jalan ini dibuat dengan lebar sekitar 60 meter.

Palangkaraya dari Tepi Sungai Kahayan dan sekitarnya

Citra Kota Palangka Raya dengan tradisi Dayak menjadi konsep utama untuk menciptakan image atau identitas salah satu kota khas Kalimantan di Indonesia. Sedangkan citra sebagai kota Indonesia tropis diwujudkan dengan konservasi tanaman dan merancang koridor ini dengan komposisi tata hijau dan ruang tebuka hijau yang teduh. Kota ini memiliki banyak taman-taman yang asri seperti bundaran besar, bundaran burung, dan jalur hijau yang teduh di sepanjang jalan-jalan utamanya. Kapling-kapling bangunan khususnya bangunan perkantoran dan fasilitas social seperti sekolah, dan tempat ibadah rata-rata memiliki halaman luas sehingga tetap menjaga perbandingan koefisien dasar bangunan dan koefisien daerah hijau dalam kondisi ideal. Luas wilayah Kota Palangka Raya saat ini adalah 2.678,51 km², sedangkan luas lahan yang berfungsi dan terbangun secara fisik baru sekitar 4.554 ha* atau 45,54 km² atau 1,70 %. Hal ini karena sekeliling kota masih didominasi oleh kawasan hutan dan perkebunan.

Bundaran Kecil/Bundaran Gubernuran


Pola konfigurasi eksisting tata bangunan memiliki kecenderungan mengikuti pola konfigurasi jalan yaitu memiliki kecenderungan membentuk konfigurasi linear dan radial. Konfigurasi grid dan linear menciptakan pola orientasi bangunan menghadap ke jalan. Fungsi Jalan Yos Sudarso, Imam Bonjol, Tjilik Riwut, dan RTA Milono sebagai sumbu utama memiliki pola linear dengan titik akhir adalah Bundaran Besar dan Bundaran Kecil sebagai pusat konfigurasi radial. Pola konfigurasi jalan radial memiliki membentuk pola orientasi bangunan yang terfokus pada titik pusat radial. Pola titik pusat radial ini didefinisikan sebagai Bundaran Besar dan Bundaran Kecil.

Minggu, 01 Februari 2009

Nilai Strategis Kalimantan.....

Seusai menyelesaikan kerjaan saya di Kabupaten Lamandau yang merupakan wilayah pemekaran yang masih begitu kacau itu, saya memasuki masa rehat sejenak di Kota Palangka Raya, Ibukota Propinsi Kalimantan Tengah. Di kota ini saya cukup terkesan dengan tata kota yang begitu teratur, bersih, teduh dan nyaman. Bisa jadi karena penduduk kota ini masih sangat sedikit, sehingga masih mudah diatur. Apalagi ternyata kota ini sejak awal mula berdirinya sudah direncanakan dengan matang, tidak main-main yang merencanakan adalah Ir. Soekarno, Pendiri negara sekaligus Presiden kita yang pertama.

Peta Kota Palangka Raya

Palangka Raya dahulu masih merupakan wilayah hutan belantara yang di dalamnya terdapat sebuah kampung yang bernama Kampung Pahandut yang mulai eksis sejak tahun 1884. Kampung ini pada masa kemerdekaan RI dahulu dipimpin oleh seorang Kepala Adat yang disebut Demang, yaitu bernama Demang Ngabe Sukah. Kemudian pada tahun 1957, Presiden Soekarno memulai pemancangan tiang pertama pembangunan Kota Palangkaraya. Konon Presiden Soekarno bermaksud menjadikan kota ini sebagai Ibukota Negara menggantikan Jakarta yang mulai padat. Sebagai sosok visioner yang melihat peluang dan tantangan yang akan dihadapi Indonesia ke depan, Soekarno melihat letak Kota Palangkaraya cukup strategis yang berada persis di tengah-tengah wilayah RI yang begitu luas sepanjang 5000 mil dari sabang sampai merauke.

Sketsa Kawasan Tepi Sungai Kahayan Palangka Raya

Soekarno tampaknya sadar, bahwa status Jakarta sebagai Ibukota Negara, akan membuat kota ini semakin padat dan kawasan perkotaannya semakin melebar yang tentu akan mengancam eksistensi daerah lumbung pangan nan subur di sekeliling Jakarta, yaitu Karawang, Bogor, Depok dan sekitarnya. Pulau Jawa pun sudah cukup padat karena sekitar 70 % penduduk RI saat itu ada di wilayah yang hanya 7 % dari total luas Indonesia. Dikhawatirkan jika persebaran dan pertumbuhan penduduk terus terkonsentrasi di Pulau Jawa, maka akan menimbulkan ketidakseimbangan ekosistem yang akan menimbulkan kerusakan lingkungan yang amat parah. Itu sebabnya keberadaan Kalimantan yang memiliki lahan luas, potensial menjadi kawasan perkotaan dengan daya tampung penduduk yang amat besar.

Kawasan Sekitar Pusat Kota Palangkaraya

Tapi sayang rencana besar Soekarno tersebut terhambat pada keterbatasan dana yang dimiliki pemerintah saat itu. Maklum untuk mewujudkan sebuah kota baru dibutuhkan banyak pembangunan infrastruktur dan fasilitas sosial yang lengkap. Soekarno pun mulai menggalang bantuan dari luarnegeri. Berkat kedekatannya dengan Uni Soviet kala itu (sekarang disebut Rusia), beberapa ruas jalan utama bisa diselesaikan pembangunannya. Konon kabarnya Belanda juga ikut menawarkan bantuan pembangunan jalan, bahkan hingga meliputi seluruh daratan kalimantan, dengan syarat seluruh pohon-pohon yang berada di radius satu kilometer kanan-kiri ruas jalan yang akan dibangun menjadi milik Belanda. Tentu saja tawaran konyol itu ditolak mentah-mentah oleh Soekarno karena paham akan besarnya kerugian yang ditanggung negeri kita nantinya. Pembangunan Kota Palangka Raya lalu sedikit macet setelah Soekarno diturunkan dari Kursi Kepresidenannya akibat pecahnya peristiwa G 30 S PKI yang telah banyak memakan korban jiwa.

Apalagi pengganti Soekarno kemudian, yaitu Pak Harto tidak berniat menjadikan Palangka Raya sebagai Ibukota Negara mengingat kesulitan ekonomi akibat kekacauan sosial-politik yang melanda negeri kita pada masa itu. Tapi Pak Harto sebenarnya sadar akan keterbatasan daya dukung Pulau Jawa yang tidak sebanding dengan pesatnya perkembangan penduduk dan area perkotaannya yang terus menggerogoti lahan pertanian nan subur disekitarnya. Beliau pun paham bahwa jika lahan pertanian di Jawa yang merupakan lumbung pangan nasional semakin tergerus oleh kawasan perkotaan maka akan membahayakan stabilitas pangan dan program swasembada yang menjadi prioritas beliau. Potensi jutaan hektar lahan gambut di Kalimantan Tengah pun mulai dilirik, apalagi kenyataannya disana banyak lahan nganggur usai dibabat habis para pemegang HPH. Dalam visi beliau ke depan, Kalimantan harus menjadi lumbung pangan alternatif bagi Indonesia.

Akhirnya di masa pemerintahan beliau mulai dicanangkan program lahan pertanian sejuta hektar, di area lahan gambut Kalimantan Tengah. Program ini sejak awal memang program yang dianggap gila dan konyol oleh para pakar. Tapi itu sama sekali tak membuat beliau mundur, sebagai sosok yang amat berkuasa pada masanya beliau mengerahkan berbagai sumberdaya yang dibutuhkan untuk kelancaran proyek tersebut. Para insinyur dan ratusan tenaga ahli dikerahkan meski pada akhirnya proyek yang memakan dana sekitar sepuluh trilyun rupiah itu berakhir sia-sia.

Di luar itu sebenarnya ada beberapa program Pak Harto untuk menyiasati permasalahan keterbatasan lahan di Jawa, yaitu mengirim puluhan ribu tenaga transmigran ke daerah-daerah potensial di luar Jawa, seperti Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, bahkan Papua. Khusus di Kalimantan Tengah, program transmigrasi banyak terbantu oleh ketersedian lapangan kerja yang cukup memadai, meski itu akhirnya tidak membuat lahan pertanian pangan menjadi bertambah karena para transmigran lebih senang bekerja di perkebunan sawit, karet atau jadi buruh bangunan ketimbang jadi petani.

Pada masa sekarang prospek pengembangan kalimantan sebagai pusat konsentrasi permukiman penduduk pengganti Pulau Jawa masih cukup relevan. Lapangan kerja masih terbentang luas sehingga diharapkan bisa mengurangi jumlah pengangguran di Pulau Jawa. Isu yang menjadi tantangan global di masa depan adalah masalah penyediaan energi. Kalimantan yang memiliki cadangan batubara dan gas yang besar, dan juga memiliki potensi sumber energi alternatif berupa bio-fuel dari jutaan hektar lahan sawit sangat membantu suplai energi negara kita di masa depan.

Pertumbuhan penduduk sekaligus pusat-pusat industri pulau Jawa yang melewati batas saat ini telah menimbulkan krisis energi listrik, karena kapasitas daya pembangkit yang dimiliki PLN di Jawa terbatas. Apalagi pasokan batubara untuk PLTU sering terlambat. Terlambatnya pasokan akibat kapal-kapal batubara yang datang dari Kalimantan sering dihadang badai di perjalanan. Berdasarkan kenyataan itu akan lebih efesien jika konsentrasi pusat-pusat permukiman dan industri negara kita dipindahkan ke Kalimantan agar memudahkan distribusi bahan bakunya, lagipula tahun ini sedang direncanakan pembangunan jalur kereta api lintas Kalimantan. Sementara itu Pulau Jawa difokuskan sebagai pusat pengembangan pertanian pangan dan perkebunan nasional mengingat lahannya yang begitu subur.