Senin, 26 Januari 2009

Berkarya untuk Berbagi, Berbagi untuk Berbakti

Sebagai bagian dari umat manusia yang hidup bermasyarakat di dunia ini, sejatinya masing-masing dari kita bertanggung-jawab untuk memberikan kontribusi kepada masyarakat sekitar kita dalam berbagai bentuk, baik perbuatan, pikiran, maupun materi (kalo belum mampu juga ya kontribusi dalam bentuk doa-doa yang baik, kalo yang itu belum mampu juga… ya belajar dong !!!). Hendaknya kita memanfaatkan segala potensi yang ada pada diri kita untuk kepentingan masyarakat, bukan malah sebaliknya memanfaatkan segala potensi atau sumberdaya masyarakat untuk kepentingan pribadi (Ssst… bukannya nyindir beberapa pejabat yang hobi pasang iklan pencitraan diri pake uang negara lho...!!!).

Tindakan memanfaatkan potensi atau sumberdaya masyarakat untuk kepentingan pribadi janganlah terlalu berlebihan apalagi jika itu dilakukan pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan pelayanan publik karena ujung-ujungnya akan terjadi korupsi yang merugikan kepentingan dan hak-hak masyarakat. Kontribusi masyarakat yang telah membayar pajak janganlah disia-siakan. Tumbuhkan semangat berkarya untuk berbagi agar tercipta keharmonisan tatanan kehidupan masyarakat dan peradaban.

Setelah beberapa bulan terlibat dalam kegiatan konsultan perencanaan dan pengawasan pembangunan saya mulai sedikit memahami mengapa terjadi begitu banyak kesemrawutan dan kekurangan yang terjadi dalam kegiatan pembangunan infrastruktur di negara kita, khususnya di daerah-daerah tertinggal seperti Kalimantan. Sangatlah patut disayangkan anggaran triliunan rupiah yang mengalir di bumi kalimantan dari pemerintah pusat ternyata tidaklah diserap dengan efektif dan efesien. Semua ini akibat kombinasi keserakahan yang dipadukan dengan ketololan absurd dan egoisme pribadi.

Contoh kekonyolan tersebut nampak jelas di Kabupaten Lamandau, Propinsi Kalimantan Tengah (sekitar 12 jam perjalanan darat dari Kota Palangkaraya). Sebagai salah satu kabupaten pemekaran yang telah berusia lima tahun dengan APBD lebih dari 400 milyar/tahun seharusnya wilayah ini mengalami banyak kemajuan yang berarti terutama kondisi infrastrukturnya, apalagi jumlah penduduknya cuman 54.000 jiwa saja. Tapi sayangnya yang terjadi tidaklah demikian, bahkan di Kota Nanga Bulik yang merupakan ibukota kabupatennya, kondisi infrastruktur yang dimiliki sangatlah menyedihkan.

Kondisi jalan-jalan di Kota Nanga Bulik bisa dibilang 90 % dalam kondisi rusak, bahkan termasuk ruas jalan depan Kantor Bupatinya. Lho kok bisa demikian…? Apa tidak ada kegiatan pembangunan atau pemeliharaan jalan disana…? Hmmm… bisa dibilang disana selalu dianggarkan dan dilaksanakan kegiatan pembangunan dan pemeliharaan jalan secara rutin hingga menyedot dana puluhan milyar tiap tahun. Tapi sayangnya kualitas pekerjaan amat begitu buruk akibat kombinasi keserakahan yang dipadu dengan ketololan absurd dan egoisme pribadi yang mewabah diantara pihak-pihak yang terlibat, mulai dari kontraktor, konsultan pengawas, hingga oknum-oknum di pemerintahan.

Bayangkan saja dari dana yang dianggarkan untuk masing-masing paket kegiatan proyek fisik ternyata hanya sekitar 30 % saja yang benar-benar dialokasikan untuk pembiayaan pekerjaan karena sudah dipotong 10 % untuk kepala dinas & Bupati, 12 persen untuk pajak-pajak, 10 persen untuk upeti/pungli oknum-oknum pejabat pemda khususnya panitia lelang, 10 persen biaya operasional proyek, dan sisanya untuk keuntungan kontraktor/pelaksana proyek. Pihak konsultan perencana dan pengawas pun juga mengalami nasib serupa

Sulit rasanya mengupayakan kualitas pekerjaan kalo dana yang efektif terpakai untuk proyek pembangunan tersebut hanya 30-40 % dari nilai anggaran yang dialokasikan. Apalagi jika SDM yang terlibat ternyata begitu bebal dan bertindak konyol dalam kegiatan proyek tersebut . Sebagai contoh ketika pelaksanaan penimbunan tanah oleh salah satu kontraktor lokal untuk pembangunan jalan yang nyata-nyata kondisi tanah di lapangan begitu labil karena strukturnya dominan lahan bergambut, setelah ditimbun mereka tak langsung melakukan pemadatan, hingga tinggi timbunan mencapai lebih semeter baru dilakukan pemadatan (idealnya tiap 10-15 cm timbunan, langsung dilakukan pemadatan dengan vibrator dan begitu seterusnya). Konyolnya lagi mereka melakukan pemadatan tanah timbunan untuk jalan tersebut dengan cara yang amat sederhana yaitu dengan diinjak-injak kaki pekerja plus cangkul sambil sesekali digilas ban truk yang mondar-mandir membawa material timbunan (saya rasa meski diinjak-injak gajah Afrika sekalipun, untuk timbunan setebal semeter seperti itu kondisi tanah timbunan sulit padat merata hingga ke dasar, apalagi timbunannya diatas tanah yang labil seperti tanah gambut yang banyak di kalimantan ini). Kekonyolan lain yang nampak adalah pekerjaan pembangunan jalan tersebut tak dilengkapi pula dengan sistem drainase jalan yang memadai mengingat curah hujan yang amat tinggi di wilayah tropis ini, maka tidak heran jika aliran air langsung menggerus badan jalan baru itu.

Akibatnya jelas tampak, untuk kasus pembangunan jalan di salah satu ruas jalan poros Kota Nanga Bulik Kalteng yang telah memakan dana 1,4 milyar, kurang dari sebulan setelah jalan yang dikerjakan sembrono tersebut selesai diaspal, kondisi permukaan jalan mulai bergelombang, dan bulan berikutnya aspal mulai terkelupas dan berlobang-lobang hingga kondisi jalan menjadi buruk rupa seperti habis dihujani bom militer Israel. Dan lucunya lagi pada tahun berikutnya dianggarkan dana untuk pemeliharaan jalan bobrok tersebut agar kembali mulus (meski cuma beberapa bulan aja) dan begitulah seterusnya yang terjadi tiap tahun selalu ada proyek khususnya bagi kontraktor lokal (entah sampai kapan lingkaran setan ini bisa diakhiri).

Kasus konyol lain yang terjadi di lamandau di tahun 2008 adalah saat kegiatan pembangunan jaringan listrik tegangan menengah di daerah Batu Kotam. Sesuai kontrak kerja yang disepakati pada proyek bernilai total 2,86 milyar tersebut, kontraktor diharuskan membangun jaringan listrik sepanjang 8950 m termasuk mendirikan 179 tiang beton lengkap dengan aksesorisnya, dan kabel tegangan menengah (A3C 150 mm2) dengan panjang total 29.000 m. Waktu yang diberikan yaitu 150 hari, dimulai tanggal 17 Juli yang menurut kalender berakhir pada 16 Desember. Entah karena terlalu sibuk mengerjakan proyek di wilayah lain ataukah karena emang malas, hingga bulan september belum ada tanda-tanda kegiatan proyek mulai berjalan. Pada bulan oktober, baru mulai diadakan pengukuran dan pematokan jalur yang akan dibangun. Beberapa material khususnya tiang beton mulai berdatangan meski baru sekitar 15 % dari keseluruhan nilai kontrak.

Pada bulan november, beberapa tiang mulai didirikan meski jumlahnya masih sedikit. Hingga akhir november baru 34 tiang beton yang berdiri, itupun tanpa kabel tegangan menengah. Minggu-minggu berikutnya tak ada aktivitas menonjol, karena pihak kontraktor masih sibuk mendatangkan sisa material padahal tenggat waktu yang diberikan kian dekat. Pihak Distamben setempat selaku pemberi proyek dibuat kalang-kabut karena pada bulan Desember ada pemeriksaan proyek dari Bawasda Propinsi dan bulan berikutnya, BPK dari Jakarta akan segera datang. Pihak kontraktor tetap cuek, meski mendapat peringatan dari Distamben setempat maupun konsultan pengawas untuk segera menuntaskan pekerjaan (Mentang-mentang dia adik mantan gubernur, sekaligus tokoh parpol besar di Kalteng).

Akhirnya pihak konsultan pengawas mengambil keputusan tegas untuk mengajukan pemutusan kontrak bagi kontraktor sinting itu dengan alasan realisasi pekerjaan hingga minggu kedua bulan desember baru mencapai 33 %. Langkah tersebut disetujui oleh Kepala Distamben setempat yang langsung menyusun draft pemutusan kontrak dengan dibantu oleh konsultan. Konyolnya pihak kontraktor malah mengadukan pihak konsultan pengawas ke Bupati, dan lucunya ia juga menekan Bupati untuk memperpanjang kontraknya dengan alasan pekerjaannya terhambat oleh masalah pengiriman material yang sempat tertahan di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya dan Pelabuhan Kumai, Kotawaringin Barat. Padahal ia baru sibuk mengirim material mulai November atau sekitar sebulan sebelum batas waktu kontraknya habis. Beberapa pimpinan partai besar tingkat propinsi juga ikut-ikutan menekan bupati untuk memberikan keringanan dan perpanjangan waktu bagi kontraktor tersebut.

Sang bupati lalu mengumpulkan pihak distamben dan konsultan pengawas untuk membahas permasalahan tersebut. Setelah mendapat masukan dan bukti-bukti kuat, akhirnya bupati mendukung pemutusan kontrak tersebut untuk memberikan pelajaran bagi kontraktor lainnya. Mendengar keputusan bupati tersebut, sang kontraktor lalu meneror pihak konsultan dengan beragam ancaman, bahkan juga akan mengirim beberapa preman meski itu akhirnya tak dilakukan. Tindakan kontraktor yang ugal-ugalan itu sungguh disesalkan, seharusnya ia belajar mengakui dan memperbaiki kesalahannya. Mestinya ia malu bila berbuat salah, bukannya malah mencari kambing hitam. Mereka harus sadar akan tanggung jawab mereka untuk melaksanakan kegiatan pembangunan yang didanai pajak masyarakat dengan sungguh-sungguh, bukan malah mengkhianatinya.

Dengan demikian pantaslah kiranya jika masing-masing dari kita mulai menumbuhkan kesadaran spiritual dan etika yang beradab untuk memperbaiki kerusakan tatanan ini. Semangat baru yang perlu dimiliki saat ini adalah semangat berkarya untuk berbagi. Berbagi pengetahuan, berbagi kebaikan, berbagi kasih-sayang, berbagi rezeki, berbagi karya, dan itu semua juga merupakan wujud pengabdian/Ibadah dan rasa berbakti kita kepada Tuhan dan masyarakat.



MARI BERJUANG…. MARI BERKARYA… MARI BERBAGI… !!!