Seperti yang telah saya ceritakan sebelumnya dalam tulisan blog saya, begitu lulus kuliah dari ITN atau beberapa hari setelah diwisuda, pada tanggal 3 Desember 2007-23 februari 2008 saya mengikuti kursus english di Kota Pare, Kediri. Setelah hampir 3 bulan menjalani kursus english, kami diwajibkan menjalani serangkaian ujian mulai speaking, listening, hingga ujian writting. Pada tanggal 23 februari 2008 (sekitar jam 11 malam) saat dalam perjalanan menuju Candi Borobudur bersama seluruh peserta kursus dalam rangka menjalani ujian speaking dengan mewawancarai para Turis asing disana, di dalam bus tiba-tiba saya merasakan sakit kepala dan demam yang hebat. Hingga pagi hari (24 feb) rasa sakit itu juga tidak hilang, malahan badan saya tambah lemas, kurang fit, dan juga kehilangan nafsu makan (pagi itu hingga balik ke bus siangnya saya memilih tidak makan karena emang nggak nafsu). Saat itu saya masih berpikir bahwa saya hanya menderita demam biasa, karena itu saya mencoba melawan penyakit itu dengan berbagai cara. Akan tetapi upaya itu tidak berhasil karena nyatanya selama di Borobudur saya merasa tambah kepanasan, lemas, dan mengantuk berat. Saya bahkan tidak peduli dengan segala aktivitas, keindahan alam dan budaya disana karena yang ada di pikiran saya saat itu cuma bagaimana cara menemukan tempat terlindung yang nyaman untuk tidur (ternyata saya tidak menemukannya!!!). Jujur saja saat itu saya benar-benar jengkel dengan pihak pengelola Candi yang tampaknya kurang memperhatikan kebutuhan para pengunjung padahal obyek wisata tersebut berskala internasional. Bayangkan di sekitar bangunan Candi saya ternyata tak menemukan toilet barang sebiji pun, malahan lokasi toiletnya ternyata begitu jauh dari bangunan utama candi (Bayangkan apa jadinya jika ada pengunjung manula/lemah fisiknya karena sakit, ketika berada di puncak candi yang begitu tinggi itu tiba-tiba kebelet pipis..!!!, apa ia mesti pipis di atas candi yang sakral itu???).
Kembali ke permasalahan utama saya saat di Borobudur, ketika sakit tersebut saya rasakan mencapai puncaknya di siang hari (saya bahkan nyaris pingsan di atas candi, dan sulit dibayangkan apa yang terjadi mengingat fasilitas pelayanan kesehatan bersifat emergency begitu jauh dari sana). Yang saya lakukan saat itu hanyalah berdoa dan berdoa sambil terus berharap tuhan segera menolong dan memberi kekuatan pada saya. Saya bahkan sudah begitu pasrah dan mengikhlaskan diri jika seandainya saat itu "Tuhan hendak memanggil saya". Teman-teman sebenarnya juga turut prihatin tapi mereka mengira saya hanya demam biasa jadi mereka tetap melanjutkan aktivitas wawancara mereka dengan turis-turis asing dan asyik berfoto ria.
Setelah berjuang keras untuk survive melawan penyakit saya dengan senjata pamungkas saya yaitu doa dan dzikir akhirnya saya masih sempat bertahan lama diatas candi (saya bahkan sempat mengelilingi bangunan utama candi meski bolak-balik berhenti istirahat). Setelah sekitar empat jam di Borobudur saya kemudian mengikuti rombongan kembali ke bus (sebenarnya saya pingin duluan pulang, tapi entah kenapa batin saya selalu menolak). Alhamdulillah meski sedikit payah saya lalu bisa sukses kembali ke bus bersama teman-teman lainnya (Hal ajaibnya adalah meski saya menderita demam yang dahsyat saat itu, saya mampu berjalan kaki lebih dari sejam, mulai dari puncak borobudur hingga ke dalam bus yang parkir di luar kawasan wisata tersebut tanpa istirahat semenitpun di jalan !!! padahal saya saat itu juga kelaparan karena belum makan pagi).
Sesampainya di dalam bus saya langsung minum sepuasnya (alhamdulillah saya benar-benar menemukan kenikmatan yang luar-biasa saat itu). Setelah itu kemudian saya segera tidur hingga bus membawa kami sampai di tempat wisata berikutnya yaitu Malioboro di Yogyakarta. Sesampainya di Malioboro di saat teman-teman pingin mengajak saya bershoping-ria (maksudnya biar saya lupa dengan penyakit saya) saya malah buru-buru mencari Masjid karena saat itu udah jam 2 siang lewat dan saya belum menghadap tuhan dengan mengerjakan kewajiban shalat dhuhur.
Usai shalat dhuhur saya kembali berdoa cukup lama sambil berpikir tentang cobaan yang menimpa saat itu. Saya bertanya-tanya mengapa di saat teman-teman dan semua orang bersenang-senang di tempat-tempat wisata yang kami kunjungi, justru saya malah menderita demam dahsyat dan kehilangan selera untuk menikmati kesenangan duniawi itu. Ketika saya keluar dari tempat shalat, di perjalanan dekat monumen serangan umum 1 maret saya melihat beberapa gelandangan, pengemis, dan anak-anak jalanan yang tampak begitu memelas karena seperti kelaparan (saat itu hati saya terguncang karena tuhan sepertinya sedang menegur saya akan kenyataan bahwa di dunia ini ada banyak orang yang lebih buruk nasibnya daripada saya).
Saat kembali ke bus saya lagi-lagi melanjutkan tidur saya hingga sore (Saya bahkan melewatkan lagi waktu makan siang, sehingga saya seperti orang yang lagi puasa karena tidak makan pagi dan siang, saya cuman minum air dan makan sedikit camilan).
Hingga malam hari saya lebih banyak tiduran di bus, saya hanya keluar bus saat waktu shalat dan makan malam saja. Sampai tengah malam ketika kami sampai kembali di Kota Pare, tiba-tiba saya merasakan semakin bertambah lemas dan bahkan ngangkat tas ransel saja saya tidak kuat hingga saya dibantu Mr Farhan, pengajar favorit di tempat kursus. Beliau tidak hanya membantu ngangkat tas saya, tetapi juga menuntun saya melewati kegelapan malam menuju asrama EECC yang juga satu komplek dengan tempat kursus saya (Thank u very much sir!!!). Saat itu saya memutuskan untuk tinggal di asrama hingga esok pagi.
Kemudian ketika saya kembali ke tempat kos saya dari asrama sekitar jam sembilan pagi (25 feb 2007) saya kembali tidur sampai waktu dhuhur. siangnya saya minum obat demam, tapi sorenya saya malah mual-mual, bahkan malam saya bolak-balik muntah dan perut terasa sangat sakit sekali. Saat itu saya berusaha tetap tenang dan banyak-banyak berdoa, beberapa teman terlihat panik dan menyarankan saya segera ke dokter. Saya menolak dengan halus dengan beralasan saat itu sudah terlalu malam (sekitar jam sepuluh lewat), jadi saya memutuskan besok pagi saja berobatnya. Keesokan harinya sekitar jam stengah 9 pagi teman saya, Yusuf (thanks bro...semoga allah membalas kebaikanmu) lalu mengantar saya menuju rumah sakit (RSUD Pare) karena jaraknya cukup dekat dari kos saya (hanya sekitar 300 meter). Disana saya langsung dilayani dengan baik meski ngantri hampir sejam untuk bertemu dokternya. Setelah diperiksa ternyata menurut dokter saya menderita Demam Berdarah dan harus segera dirawat inap hari itu juga. Kemudian saya setuju untuk segera dirawat inap dan segera membayar beberapa persyaratan administrasi yang dibutuhkan. Saya lalu disuruh keluar ama dokter itu agar menunggu di ruang tunggu hingga berjam-jam sampai saya bosan dan hampir pingsan lagi (wah brengsek juga dokter itu !!!). Akhirnya saya memaksa dokter tersebut agar saya segera mendapat perawatan di ruang rawat inap. Maklum saja saya ngotot seperti itu masalahnya kadar trombosit saya menurut dokter dibawah 50...(satuannya saya lupa) atau tinggal sepertiga dari ukuran normalnya.
Alhamdulillah saya lalu segera dibawa ke ruang rawat inap dan segera diinfus. Tapi sehari disana saya mulai tidak betah karena merasa privasi saya terganggu oleh beberapa pasien yang suka mengaduh kesakitan. Akhirnya saya minta pindah kamar ke Kelas I yang lebih tenang dan nyaman menurut saya. Seminggu di rumah-sakit hampir menguras tabungan saya karena saya harus ngeluarin jutaan rupiah untuk biaya perawatan tersebut. Tapi itu tak masalah bagi saya karena dalam pikiran saya yang penting saya segera sembuh dan kembali beraktivitas secara normal. Selama di rumah-sakit saya juga selalu menyempatkan diri banyak-banyak berdoa dan berdzikir sambil meminta dukungan ortu, keluarga, dan teman-teman. Teman-teman saya di Pare tak henti-hentinya datang menjenguk dan mendoakan saya, termasuk beberapa polisi kenalan saya di Pare.
Sekitar seminggu kemudian yaitu tanggal 2 maret saya minta pulang dan dirawat di rumah karena jujur saja saya sudah tidak betah lagi berlama-lama tinggal di rumah sakit. akhirnya saya diijinkan pulang ke rumah tanggal 3 maret 2008 meski sebenarnya saya belum sembuh benar karena kadar trombosit saya masih rendah. Sesampainya di rumah saya kembali melanjutkan hobi saya di rumah-sakit yaitu tidur hingga waktu shalat tiba. Anehnya malam hari saya mulai pusing, kemampuan penglihatan saya juga mulai kacau karena saya melihat benda-benda yang ada di sekitar saya tampak lebih kecil dari seharusnya. Malam itu pikiran saya benar-benar kacau dan sulit berkonsentrasi dengan peristiwa yang saya alami. Bahkan hingga jam stengah 12 malam saya belum juga bisa tidur dengan tenang. Saya tidak henti-henti merasa gelisah dan merasa kepala saya bertambah sakit dan cenut-cenut. Selama masa kritis tersebut saya mencoba bersikap tenang, sabar dan menata hati saya agar tetap ikhlas dengan cobaan yang saya alami sambil tak henti-henti berdoa kepada tuhan agar saya diberi kesembuhan, kekuatan, dan pertolongan agar bisa segera keluar dari kondisi kritis yang saya alami ini. akhirnya jam 12 lewat saya berhasil tidur dengan nyenyak.
Malam itu ketika menikmati tidur saya yang nyenyak tiba-tiba saya bermimpi yang sangat indah sekali (seingat saya seumur hidup belum pernah saya merasakan mimpi yang seindah ini). Mimpi itu benar-benar membangkitkan spirit saya untuk bangkit dari kondisi kritis yang saya alami dan memberikan banyak inspirasi bagi saya untuk berkarya mengabdi pada tuhan dan seluruh umat selama hidup di bumi ini.
Penyakit Demam berdarah tersebut masih saya derita kira-kira seminggu setelah keluar dari rumah sakit. Ada banyak inspirasi dan gagasan-gagasan nyeleneh dan ngawur yang saya peroleh semasa sakit tersebut. Selama proses penyembuhan itu berat badan saya turun sekitar 6 Kg (suatu jumlah yang besar bagi orang sekurus saya) tapi anehnya kekuatan fisik saya tambah besar (mungkin pengaruh obat dari rumah sakit), setidaknya itu sudah pernah saya uji saat teman-teman pengajian saya di Malang berlatih sepakbola dengan tentara dari Yon Armed Singosari, saya mampu berlari keliling lapangan Armed 5 putaran non-stop (sebenarnya saya masih bisa nambah lagi) dengan jarak tempuh 2 km (padahal saya dikenal paling jarang olahraga dan rekor saya untuk lari non-stop seperti itu tak lebih dari 700 m).
Kembali ke permasalahan utama saya saat di Borobudur, ketika sakit tersebut saya rasakan mencapai puncaknya di siang hari (saya bahkan nyaris pingsan di atas candi, dan sulit dibayangkan apa yang terjadi mengingat fasilitas pelayanan kesehatan bersifat emergency begitu jauh dari sana). Yang saya lakukan saat itu hanyalah berdoa dan berdoa sambil terus berharap tuhan segera menolong dan memberi kekuatan pada saya. Saya bahkan sudah begitu pasrah dan mengikhlaskan diri jika seandainya saat itu "Tuhan hendak memanggil saya". Teman-teman sebenarnya juga turut prihatin tapi mereka mengira saya hanya demam biasa jadi mereka tetap melanjutkan aktivitas wawancara mereka dengan turis-turis asing dan asyik berfoto ria.
Setelah berjuang keras untuk survive melawan penyakit saya dengan senjata pamungkas saya yaitu doa dan dzikir akhirnya saya masih sempat bertahan lama diatas candi (saya bahkan sempat mengelilingi bangunan utama candi meski bolak-balik berhenti istirahat). Setelah sekitar empat jam di Borobudur saya kemudian mengikuti rombongan kembali ke bus (sebenarnya saya pingin duluan pulang, tapi entah kenapa batin saya selalu menolak). Alhamdulillah meski sedikit payah saya lalu bisa sukses kembali ke bus bersama teman-teman lainnya (Hal ajaibnya adalah meski saya menderita demam yang dahsyat saat itu, saya mampu berjalan kaki lebih dari sejam, mulai dari puncak borobudur hingga ke dalam bus yang parkir di luar kawasan wisata tersebut tanpa istirahat semenitpun di jalan !!! padahal saya saat itu juga kelaparan karena belum makan pagi).
Sesampainya di dalam bus saya langsung minum sepuasnya (alhamdulillah saya benar-benar menemukan kenikmatan yang luar-biasa saat itu). Setelah itu kemudian saya segera tidur hingga bus membawa kami sampai di tempat wisata berikutnya yaitu Malioboro di Yogyakarta. Sesampainya di Malioboro di saat teman-teman pingin mengajak saya bershoping-ria (maksudnya biar saya lupa dengan penyakit saya) saya malah buru-buru mencari Masjid karena saat itu udah jam 2 siang lewat dan saya belum menghadap tuhan dengan mengerjakan kewajiban shalat dhuhur.
Usai shalat dhuhur saya kembali berdoa cukup lama sambil berpikir tentang cobaan yang menimpa saat itu. Saya bertanya-tanya mengapa di saat teman-teman dan semua orang bersenang-senang di tempat-tempat wisata yang kami kunjungi, justru saya malah menderita demam dahsyat dan kehilangan selera untuk menikmati kesenangan duniawi itu. Ketika saya keluar dari tempat shalat, di perjalanan dekat monumen serangan umum 1 maret saya melihat beberapa gelandangan, pengemis, dan anak-anak jalanan yang tampak begitu memelas karena seperti kelaparan (saat itu hati saya terguncang karena tuhan sepertinya sedang menegur saya akan kenyataan bahwa di dunia ini ada banyak orang yang lebih buruk nasibnya daripada saya).
Saat kembali ke bus saya lagi-lagi melanjutkan tidur saya hingga sore (Saya bahkan melewatkan lagi waktu makan siang, sehingga saya seperti orang yang lagi puasa karena tidak makan pagi dan siang, saya cuman minum air dan makan sedikit camilan).
Hingga malam hari saya lebih banyak tiduran di bus, saya hanya keluar bus saat waktu shalat dan makan malam saja. Sampai tengah malam ketika kami sampai kembali di Kota Pare, tiba-tiba saya merasakan semakin bertambah lemas dan bahkan ngangkat tas ransel saja saya tidak kuat hingga saya dibantu Mr Farhan, pengajar favorit di tempat kursus. Beliau tidak hanya membantu ngangkat tas saya, tetapi juga menuntun saya melewati kegelapan malam menuju asrama EECC yang juga satu komplek dengan tempat kursus saya (Thank u very much sir!!!). Saat itu saya memutuskan untuk tinggal di asrama hingga esok pagi.
Kemudian ketika saya kembali ke tempat kos saya dari asrama sekitar jam sembilan pagi (25 feb 2007) saya kembali tidur sampai waktu dhuhur. siangnya saya minum obat demam, tapi sorenya saya malah mual-mual, bahkan malam saya bolak-balik muntah dan perut terasa sangat sakit sekali. Saat itu saya berusaha tetap tenang dan banyak-banyak berdoa, beberapa teman terlihat panik dan menyarankan saya segera ke dokter. Saya menolak dengan halus dengan beralasan saat itu sudah terlalu malam (sekitar jam sepuluh lewat), jadi saya memutuskan besok pagi saja berobatnya. Keesokan harinya sekitar jam stengah 9 pagi teman saya, Yusuf (thanks bro...semoga allah membalas kebaikanmu) lalu mengantar saya menuju rumah sakit (RSUD Pare) karena jaraknya cukup dekat dari kos saya (hanya sekitar 300 meter). Disana saya langsung dilayani dengan baik meski ngantri hampir sejam untuk bertemu dokternya. Setelah diperiksa ternyata menurut dokter saya menderita Demam Berdarah dan harus segera dirawat inap hari itu juga. Kemudian saya setuju untuk segera dirawat inap dan segera membayar beberapa persyaratan administrasi yang dibutuhkan. Saya lalu disuruh keluar ama dokter itu agar menunggu di ruang tunggu hingga berjam-jam sampai saya bosan dan hampir pingsan lagi (wah brengsek juga dokter itu !!!). Akhirnya saya memaksa dokter tersebut agar saya segera mendapat perawatan di ruang rawat inap. Maklum saja saya ngotot seperti itu masalahnya kadar trombosit saya menurut dokter dibawah 50...(satuannya saya lupa) atau tinggal sepertiga dari ukuran normalnya.
Alhamdulillah saya lalu segera dibawa ke ruang rawat inap dan segera diinfus. Tapi sehari disana saya mulai tidak betah karena merasa privasi saya terganggu oleh beberapa pasien yang suka mengaduh kesakitan. Akhirnya saya minta pindah kamar ke Kelas I yang lebih tenang dan nyaman menurut saya. Seminggu di rumah-sakit hampir menguras tabungan saya karena saya harus ngeluarin jutaan rupiah untuk biaya perawatan tersebut. Tapi itu tak masalah bagi saya karena dalam pikiran saya yang penting saya segera sembuh dan kembali beraktivitas secara normal. Selama di rumah-sakit saya juga selalu menyempatkan diri banyak-banyak berdoa dan berdzikir sambil meminta dukungan ortu, keluarga, dan teman-teman. Teman-teman saya di Pare tak henti-hentinya datang menjenguk dan mendoakan saya, termasuk beberapa polisi kenalan saya di Pare.
Sekitar seminggu kemudian yaitu tanggal 2 maret saya minta pulang dan dirawat di rumah karena jujur saja saya sudah tidak betah lagi berlama-lama tinggal di rumah sakit. akhirnya saya diijinkan pulang ke rumah tanggal 3 maret 2008 meski sebenarnya saya belum sembuh benar karena kadar trombosit saya masih rendah. Sesampainya di rumah saya kembali melanjutkan hobi saya di rumah-sakit yaitu tidur hingga waktu shalat tiba. Anehnya malam hari saya mulai pusing, kemampuan penglihatan saya juga mulai kacau karena saya melihat benda-benda yang ada di sekitar saya tampak lebih kecil dari seharusnya. Malam itu pikiran saya benar-benar kacau dan sulit berkonsentrasi dengan peristiwa yang saya alami. Bahkan hingga jam stengah 12 malam saya belum juga bisa tidur dengan tenang. Saya tidak henti-henti merasa gelisah dan merasa kepala saya bertambah sakit dan cenut-cenut. Selama masa kritis tersebut saya mencoba bersikap tenang, sabar dan menata hati saya agar tetap ikhlas dengan cobaan yang saya alami sambil tak henti-henti berdoa kepada tuhan agar saya diberi kesembuhan, kekuatan, dan pertolongan agar bisa segera keluar dari kondisi kritis yang saya alami ini. akhirnya jam 12 lewat saya berhasil tidur dengan nyenyak.
Malam itu ketika menikmati tidur saya yang nyenyak tiba-tiba saya bermimpi yang sangat indah sekali (seingat saya seumur hidup belum pernah saya merasakan mimpi yang seindah ini). Mimpi itu benar-benar membangkitkan spirit saya untuk bangkit dari kondisi kritis yang saya alami dan memberikan banyak inspirasi bagi saya untuk berkarya mengabdi pada tuhan dan seluruh umat selama hidup di bumi ini.
Penyakit Demam berdarah tersebut masih saya derita kira-kira seminggu setelah keluar dari rumah sakit. Ada banyak inspirasi dan gagasan-gagasan nyeleneh dan ngawur yang saya peroleh semasa sakit tersebut. Selama proses penyembuhan itu berat badan saya turun sekitar 6 Kg (suatu jumlah yang besar bagi orang sekurus saya) tapi anehnya kekuatan fisik saya tambah besar (mungkin pengaruh obat dari rumah sakit), setidaknya itu sudah pernah saya uji saat teman-teman pengajian saya di Malang berlatih sepakbola dengan tentara dari Yon Armed Singosari, saya mampu berlari keliling lapangan Armed 5 putaran non-stop (sebenarnya saya masih bisa nambah lagi) dengan jarak tempuh 2 km (padahal saya dikenal paling jarang olahraga dan rekor saya untuk lari non-stop seperti itu tak lebih dari 700 m).